Pertemuan

Jaeden, dan Amel meninggalkan Apartemennya untuk pergi ke sebuah cafe yang berada di Jalan Juanda. “Den, kamu ada masalah, ya?” Jaeden tak menjawabnya, ia hanya fokus menyetir mobil.

“Den, aku gak nyangka kamu bakal nemenin aku ke Cafe. Aku seneng deh.” Lagi, dan lagi Jaeden tidak menjawab.

Dengan keberaniannya, Amel menanyakan harus sampai kapan mereka berdua berpura-pura seperti ini. “Kapan mau ninggalin Asha?” Jaeden yang mendengar perkataan itu langsung mengerem secara mendadak. “Aduh. Kenapa sih? Kamu mau ya, aku keguguran?” Bentak Amel.

“Lo gila? Gue udah pernah bilang kalo gue gaakan ninggalin keluarga gue. Lagian bayik yang ada di dalam kandungan lo itu bukan bayik gue. Jadi lo jangan seenaknya nyuruh gue buat ninggalin Asha.” Jaeden benar-benar tak habis pikir dengan Amel. Amel kini hanya bisa diam, dan menunduk.

“Sorry gue kelewatan. Tapi gue beneran gabisa ninggalin keluarga gue.” Ucap Jaeden yang kembali melanjutkan perjalanan.


Tak lama, Jaeden dan Amel tiba di cafe tersebut. Mereka berdua mencari tempat duduk. Tanpa mereka sadari, ada seorang lelaki yang terus memandangi mereka dari jauh. Yaitu El.

El terus saja memperhatikan kemana arah mereka berdua akan duduk. Dengan tangan yang sudah dikepalnya, ia mencoba menahan amarah yang kini hampir meledak.

Rinjani yang melihat El seperti sedang menahan amarahnya, ia langsung mencoba menenangkannya walaupun ia sendiri tak tahu apa yang menyebabkan El seperti ini.

“Tenang dulu. Kamu kenapa?” El tak mendengar Rinjani berbicara, ia terus fokus dengan Jaeden yang kini duduk di kursi pojok itu.

Amel yang ingin memanggil barista yang ada di cafe itu, ia seperti melihat El dari jauh. Namun, ia tak memberi tahu Jaeden. Justru dirinya sengaja mendekati Jaeden.

“Den, soal tadi aku minta maaf ya … “ Amel menyenderkan kepalanya di pundak Jaeden. Hal itu berhasil membuat emosi El meledak.

El langsung bangun dan menghampiri kursi Jaeden. “Gaketemu gue, jadinya ngedate sama jalang ini? HAHAHA.” Jaeden kaget dengan kehadiran El, bagaimana bisa El tau kalau dirinya sedang berada disini bersama Amel?

“Kamu kok bisa ada disini?” Tanya Jaeden.

“Seharusnya saya yang nanya kepada anda. Kenapa anda bisa ada disini dengan wanita sialan ini?” El menunjuk ke arah Amel.

“Enak aja anda bilang saya wanita sialan. Jaga mulut kamu.” Amel kini turut berdiri dari kursinya setelah dirinya dibilang Wanita sialan oleh El.

“Anda diem dulu, bisa?” Pinta El.

“Tolong jelasin ini semua bapak Jaeden yang terhormat.” Kini emosi El benar-benar sudah berada diujung tanduk. Rinjani yang melihatnya langsung berlari kearah mereka.

“El, tadi papah kerumah, terus kata mamah kamu, kamu pergi. Jadi papah—“ belom sempat melanjutkan perkataannya, El langsung membalasnya. “Jadi papah dateng kesini sama dia? Iya?! Hahaha. Puncak komedi banget.” Celetuk El.

Jaeden hanya diam. Dirinya tau kalau sang anak memang keras kepala. Ia tak mau mencari ribut di tengah keramaian. “Kenapa diem?” Kata El.

“Udah yuk mas, kita pergi dari sini.” Pinta Amel yang mengajak Jaeden untuk segera keluar dari cafe ini.

“Mau kemana? Ohh mau ke apartemennya ya? Mau berduaan ya? Iya?”

PLAK

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi El. “Jaga mulut kamu, El. Kamu Gaada bedanya sama mamah kamu.” Hari itu juga El benar-benar benci sama papahnya. El memegangi pipinya dengan tangannya. Ia mengambil tas dan meninggalkan cafe itu dan menghiraukan Rinjani.

“INGET PESAN GUE, LO BERDUA GAAKAN BAHAGIA!” Dari arah kiri, sebuah mobil melaju kencang.

“EL AWAS!!” Teriak Rinjani. Namun, tabrakan tak bisa dihindari. El terpental, dan semua orang keluar untuk melihat kejadian tersebut.

Jaeden langsung berlari ke tempat El terpental. Ia benar-benar menyesel akan perbuatannya tadi.

“El, bangun El … maafin papah … El”