Rinjani
Seperti hari-hari sebelumnya, Rinjani tak lupa untuk menyusuri pantai sore itu. Saat itu langitnya sangat indah. Namun, Rinjani melihat ada seorang laki-laki yang sedang duduk dengan raut wajah yang sendu.
Rinjani memberanikan diri untuk mendekatinya. “Indah, ya?” Laki-laki itu kaget saat mendengar ucapan Rinjani. Aku terkekeh pelan. “Hehehe, maaf.” Lanjut Rinjani.
“Boleh aku duduk di sebelah kamu?” Tanya Rinjani, dan dibalas anggukan dari laki-laki tersebut.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan namanya kepada Rinjani. “Rayya, atau bisa lo sebut El.” Nama laki-laki itu adalah El.
“Aku Rinjani”
El hanya mengangguk.
“Lo ngapain sore-sore gini sendirian ke pantai?” Tanya El.
“Aku memang tiap sore selalu kepantai untuk ngelihat indahnya langit. Kamu sendiri ngapain kesini sendirian dengan muka sendu kayak gitu?” Kini Rinjani justru membalikan pertanyaan yang tadi El lontarkan.
“Gue? Ya gue sama kayak lo. Mau lihat indahnya langit”
“Bohong” Rinjani bisa membaca mata El yang sedang menyembunyikan sesuatu.
“Cerita aja kalau ada apa-apa, El. Aku siap dengerin kamu …” lanjut Rinjani.
“Gue … gue diusir” Rinjani masih belum bisa memahami ucapan El itu. “Aku masih belum paham, El … “ ucap Rinjani.
“Gue diusir sama papah gue. Dia udah gak nganggep gue anak lagi” El mulai meneteskan airmatanya. “Papah gue selingkuh. Dan selingkuhannya hamil anak papah, Nja … gue gak terima mamah gue di selingkuhin. Jadi, gue ngebentak papah gue. Gue salah, ya?” lanjut El yang semakin deras meneteskan airmatanya.
“El … kamu gak salah.” Rinjani mencoba menenangkan El, namun tiba-tiba kepala El bersandar dibahu Rinjani.
Rinjani kaget dengan El yang tiba-tiba menyenderkan kepalanya.
“Gue numpang nyender. Maaf … “ Ia paham betapa hancurnya lelaki yang saat ini tengah bersandar pada dirinya.
“Gapapa, kamu keluarin semuanya biar kamu tenang”