Penyesalan
Malam itu, Rooftop Rumah terasa dingin, diterangi lampu-lampu kecil yang bergantung. Joshua yang sudah dari siang tiba di Rumah, ia menunggu kedatangan suaminya. Suaminya menginap di Rumah iparnya itu sejak saat mereka bertengkar.
Dilihatnya dari atas rooftop mobil Mingyu tiba. Ia melipat kedua tangannya sambil melihat ke arah mobil Mingyu. Namun, yang di dalam mobil sadar akan Joshua yang memperhatikannya dari atas. “Kyeom, suami lu udah pulang tuh” ucap Mingyu, dan Dokyeom mengangguk. “Selesain baik-baik, ya? Jangan sampe pisah lagi.. kasian keluarga lu.” Lanjut Mingyu. “Iya, Gyu.” Jawab Dokyeom.
Dokyeom turun dari mobil, dan tak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada teman sekaligus iparnya itu. “Makasih, Gyu.” Ucapnya. Mingyu mulai meninggalkan Rumah Dokyeom setelah mengantarkan pemilik Rumah tersebut.
Dokyeom ragu-ragu untuk memasuki Rumahnya, namun ia harus memberanikan diri untuk bertemu suaminya itu. Ia inget pesan Seungcheol untuk menyelesaikan masalahnya, bukan hubungannya. Maka dari itu, ia mulai menaiki anak tangga secara perlahan untuk bertemu suaminya.
“Chu” panggil Dokyeom pelan, berdiri di ujung rooftop.
Joshua hanya melirik sekilas, tidak menjawab panggilan suaminya itu. Matanya kembali menatap ke langit-langit yang penuh bintang, sikapnya yang dingin, saat ini sulit ditembus.
Dokyeom menelan ludah, dengan ragu ia melangkah mendekati suaminya itu. Tapi, dia berhenti di jarak yang ia tau, itu gaakan terlalu memaksa kehadirannya ke dalam ruang suaminya yang masih terluka.
“Chu…” suaranya gemetar. “Aku mau minta maaf.”
Joshua tetap diam, tangannya ia kepal disisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu.
“Aku… aku tau aku keterlaluan,” lanjut Dokyeom, dengan suaranya yang serak. “Aku tau, aku udah nyakitin kamu.”
Angin malam mengibaskan rambutnya, membuat tubuhnya yang sudah gemetar karena rasa bersalah, terlihat semakin rapuh.
“Aku kabur waktu seharusnya aku jujur di depan kamu,” ucap Dokyeom. “Tapi, aku malah gak jujur dan lebih milih numpang di Rumah kakak aku sendiri. Aku… aku lebih milih nyerah, daripada berjuang, Chu.”
Ia menarik napas panjang, menahan sesak yang mulai naik ke dadanya.
“Aku salah,” lanjutnya lagi, lebih keras, lebih dalam. “Semua ini salah aku. Salah karna aku bosan sama kamu… padahal, kamu aja gak pernah bosan sama aku.”
Joshua masih tak mau bicara, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Namun, ia tetap bertahan menahan air matanya agar tak jatuh.
“Josh…” Dokyeom maju satu langkah. “Aku minta maaf. Aku gak minta kamu langsung maafin aku, karena aku tau, aku gak layak buat dimaafin sekarang.”
Suaranya pecah.
“Aku cuma mau kamu tau, aku sadar. Aku sadar udah nyakitin kamu… aku sadar aku ngehancurin kepercayaan kamu. Dan aku siap dihukum. Aku siap kalo kamu butuh jarak.”
Dokyeom mengusap wajahnya yang sudah basah karna air matanya yang sedari tadi jatuh. Ia berlutut perlahan, sambil kepalanya tertunduk rendah.
“Aku gaakan bosen, dan gaakan kabur lagi. Aku disini, kamu kalo mau marah, mau benci sama aku, aku disini, Chu.” Ia tak berani menyentuh Joshua sedikit pun.
Beberapa detik berlalu. Sunyi, berat, menyakitkan menjadi satu. Hingga akhirnya, Joshua mengeluarkan suaranya, suaranya yang pelan dan hampir berbisik itu.
“Kenapa…?” Tanyanya, dengan nada gemetar. “Kenapa kamu bisa bosen sama aku?”
Dokyeom mengangkat wajahnya, matanya sudah sembab akibat terlalu lama menangis.
“Aku bosen,” jawabnya dengan jujur. “Aku bosen sama diri aku sendiri, sama ketakutan aku yang gabisa bikin kamu bahagia.”
Joshua menutup matanya, ia merasakan sakit di dadanya semakin keras.
“Aku selalu ngasih apa yang kamu mau, aku selalu nurut sama perkataan kamu, tapi kamu malah bosen sama aku.”
Tangis Dokyeom pecah.
“Aku bego… aku pengecut…” bisiknya. “Aku sayang sama kamu, kata-kata aku yang bilang aku pengen pisah sama kamu, itu boong. Aku gamau, aku gamau pisah lagi…”
Joshua akhirnya berbalik, ia memandang suaminya yang masih berlutut itu. Ia melihat kejujuran yang ada di mata Dokyeom. Keputusasaan, rasa cinta yang masih ada, walaupun terbungkus dengan rasa bersalah.
Hening lagi.
Hanya suara angin malam dan napas berat mereka yang terdengar.
Akhirnya, Joshua melangkah pelan, mendekat ke arah Dokyeom. Ia berjongkok di depan suaminya dan mengangkat wajah Dokyeom dengan kedua tangannya yang gemetar.
“Kamu nyakitin aku lagi, Kyeom,” bisiknya, air matanya jatuh.
Dokyeom mengangguk, bergetar, menerima semua perkataan Joshua.
“Tapi, aku masih sayang sama kamu,” lanjut Joshua, “masih terlalu sayang buat ngelepas kamu, mas.” Suaranya bergetar.
Ia langsung menarik tubuh suaminya ke dalam pelukannya. Erat. Lama.
“Buktiin ke aku, buktiin kalo kamu masih mau sama aku. Bukan cuma hari ini, tapi hari-hari berikutnya.”
Dokyeom memeluknya balik, gemetar, menangis di bahu Joshua. Ia peluk suaminya dengan erat, seolah kalo ia melepasnya, semuanya akan runtuh lagi.
“Aku janji, aku janji bakal ngebuktiin kalo aku bakal tetep disini sama kamu.”
Joshua membelai lembut rambut suaminya, berusaha menahan air matanya sendiri. Ia bisa merasakan betapa tulus ketakutan dan penyesalan yang mengalir dari tubuh suaminya ke tubuhnya itu.
Perlahan, Joshua melepaskan pelukan itu, cukup hanya melihat wajah Dokyeom, ia mengusap air mata yang ada di pipi suaminya dengan kedua ibu jarinya.
“Mata kamu bengkak, jelek banget kalo kayak gini.” Ucapnya.
Dokyeom tersenyum kecil, penuh rasa bersalah. Ia tau kalo suaminya itu lagi mencoba mencairkan suasana, meski hatinya masih penuh luka yang dirinya buat.
“Aku gapapa jelek, asalkan masih sama kamu terus, Chu.”
“Kalo kamu mau beneran bertahan, kita mulai dari awal, ya?”
Dokyeom mengangguk. “Aku mau. Aku mau mulai dari awal, belajar jadi suami yang lebih baik buat kamu. Buat kita.” Ucapnya.
“Tapi, ini gak gampang,” katanya. “Ada banyak hal yang harus kita perbaiki. Kamu… dan aku.”
“Aku siap.”
Joshua tersenyum tipis, lukanya perlahan mulai hilang. Ia kaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Dokyeom.
“Janji?” Kata Joshua, “kita sama-sama belajar, ya?”
“Janji.”
Mereka saling mengenggam tangan, erat, seolah dunia di sekitar mereka menghilang dan hanya ada mereka berdua, dengan tekat untuk memperbaiki segalanya.