qianwoole11xd

Malam itu, Rooftop Rumah terasa dingin, diterangi lampu-lampu kecil yang bergantung. Joshua yang sudah dari siang tiba di Rumah, ia menunggu kedatangan suaminya. Suaminya menginap di Rumah iparnya itu sejak saat mereka bertengkar.

Dilihatnya dari atas rooftop mobil Mingyu tiba. Ia melipat kedua tangannya sambil melihat ke arah mobil Mingyu. Namun, yang di dalam mobil sadar akan Joshua yang memperhatikannya dari atas. “Kyeom, suami lu udah pulang tuh” ucap Mingyu, dan Dokyeom mengangguk. “Selesain baik-baik, ya? Jangan sampe pisah lagi.. kasian keluarga lu.” Lanjut Mingyu. “Iya, Gyu.” Jawab Dokyeom.

Dokyeom turun dari mobil, dan tak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada teman sekaligus iparnya itu. “Makasih, Gyu.” Ucapnya. Mingyu mulai meninggalkan Rumah Dokyeom setelah mengantarkan pemilik Rumah tersebut.

Dokyeom ragu-ragu untuk memasuki Rumahnya, namun ia harus memberanikan diri untuk bertemu suaminya itu. Ia inget pesan Seungcheol untuk menyelesaikan masalahnya, bukan hubungannya. Maka dari itu, ia mulai menaiki anak tangga secara perlahan untuk bertemu suaminya.

“Chu” panggil Dokyeom pelan, berdiri di ujung rooftop.

Joshua hanya melirik sekilas, tidak menjawab panggilan suaminya itu. Matanya kembali menatap ke langit-langit yang penuh bintang, sikapnya yang dingin, saat ini sulit ditembus.

Dokyeom menelan ludah, dengan ragu ia melangkah mendekati suaminya itu. Tapi, dia berhenti di jarak yang ia tau, itu gaakan terlalu memaksa kehadirannya ke dalam ruang suaminya yang masih terluka.

“Chu…” suaranya gemetar. “Aku mau minta maaf.”

Joshua tetap diam, tangannya ia kepal disisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu.

“Aku… aku tau aku keterlaluan,” lanjut Dokyeom, dengan suaranya yang serak. “Aku tau, aku udah nyakitin kamu.”

Angin malam mengibaskan rambutnya, membuat tubuhnya yang sudah gemetar karena rasa bersalah, terlihat semakin rapuh.

“Aku kabur waktu seharusnya aku jujur di depan kamu,” ucap Dokyeom. “Tapi, aku malah gak jujur dan lebih milih numpang di Rumah kakak aku sendiri. Aku… aku lebih milih nyerah, daripada berjuang, Chu.”

Ia menarik napas panjang, menahan sesak yang mulai naik ke dadanya.

“Aku salah,” lanjutnya lagi, lebih keras, lebih dalam. “Semua ini salah aku. Salah karna aku bosan sama kamu… padahal, kamu aja gak pernah bosan sama aku.”

Joshua masih tak mau bicara, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Namun, ia tetap bertahan menahan air matanya agar tak jatuh.

“Josh…” Dokyeom maju satu langkah. “Aku minta maaf. Aku gak minta kamu langsung maafin aku, karena aku tau, aku gak layak buat dimaafin sekarang.”

Suaranya pecah.

“Aku cuma mau kamu tau, aku sadar. Aku sadar udah nyakitin kamu… aku sadar aku ngehancurin kepercayaan kamu. Dan aku siap dihukum. Aku siap kalo kamu butuh jarak.”

Dokyeom mengusap wajahnya yang sudah basah karna air matanya yang sedari tadi jatuh. Ia berlutut perlahan, sambil kepalanya tertunduk rendah.

“Aku gaakan bosen, dan gaakan kabur lagi. Aku disini, kamu kalo mau marah, mau benci sama aku, aku disini, Chu.” Ia tak berani menyentuh Joshua sedikit pun.

Beberapa detik berlalu. Sunyi, berat, menyakitkan menjadi satu. Hingga akhirnya, Joshua mengeluarkan suaranya, suaranya yang pelan dan hampir berbisik itu.

“Kenapa…?” Tanyanya, dengan nada gemetar. “Kenapa kamu bisa bosen sama aku?”

Dokyeom mengangkat wajahnya, matanya sudah sembab akibat terlalu lama menangis.

“Aku bosen,” jawabnya dengan jujur. “Aku bosen sama diri aku sendiri, sama ketakutan aku yang gabisa bikin kamu bahagia.”

Joshua menutup matanya, ia merasakan sakit di dadanya semakin keras.

“Aku selalu ngasih apa yang kamu mau, aku selalu nurut sama perkataan kamu, tapi kamu malah bosen sama aku.”

Tangis Dokyeom pecah.

“Aku bego… aku pengecut…” bisiknya. “Aku sayang sama kamu, kata-kata aku yang bilang aku pengen pisah sama kamu, itu boong. Aku gamau, aku gamau pisah lagi…”

Joshua akhirnya berbalik, ia memandang suaminya yang masih berlutut itu. Ia melihat kejujuran yang ada di mata Dokyeom. Keputusasaan, rasa cinta yang masih ada, walaupun terbungkus dengan rasa bersalah.

Hening lagi.

Hanya suara angin malam dan napas berat mereka yang terdengar.

Akhirnya, Joshua melangkah pelan, mendekat ke arah Dokyeom. Ia berjongkok di depan suaminya dan mengangkat wajah Dokyeom dengan kedua tangannya yang gemetar.

“Kamu nyakitin aku lagi, Kyeom,” bisiknya, air matanya jatuh.

Dokyeom mengangguk, bergetar, menerima semua perkataan Joshua.

“Tapi, aku masih sayang sama kamu,” lanjut Joshua, “masih terlalu sayang buat ngelepas kamu, mas.” Suaranya bergetar.

Ia langsung menarik tubuh suaminya ke dalam pelukannya. Erat. Lama.

“Buktiin ke aku, buktiin kalo kamu masih mau sama aku. Bukan cuma hari ini, tapi hari-hari berikutnya.”

Dokyeom memeluknya balik, gemetar, menangis di bahu Joshua. Ia peluk suaminya dengan erat, seolah kalo ia melepasnya, semuanya akan runtuh lagi.

“Aku janji, aku janji bakal ngebuktiin kalo aku bakal tetep disini sama kamu.”

Joshua membelai lembut rambut suaminya, berusaha menahan air matanya sendiri. Ia bisa merasakan betapa tulus ketakutan dan penyesalan yang mengalir dari tubuh suaminya ke tubuhnya itu.

Perlahan, Joshua melepaskan pelukan itu, cukup hanya melihat wajah Dokyeom, ia mengusap air mata yang ada di pipi suaminya dengan kedua ibu jarinya.

“Mata kamu bengkak, jelek banget kalo kayak gini.” Ucapnya.

Dokyeom tersenyum kecil, penuh rasa bersalah. Ia tau kalo suaminya itu lagi mencoba mencairkan suasana, meski hatinya masih penuh luka yang dirinya buat.

“Aku gapapa jelek, asalkan masih sama kamu terus, Chu.”

“Kalo kamu mau beneran bertahan, kita mulai dari awal, ya?”

Dokyeom mengangguk. “Aku mau. Aku mau mulai dari awal, belajar jadi suami yang lebih baik buat kamu. Buat kita.” Ucapnya.

“Tapi, ini gak gampang,” katanya. “Ada banyak hal yang harus kita perbaiki. Kamu… dan aku.”

“Aku siap.”

Joshua tersenyum tipis, lukanya perlahan mulai hilang. Ia kaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Dokyeom.

“Janji?” Kata Joshua, “kita sama-sama belajar, ya?”

“Janji.”

Mereka saling mengenggam tangan, erat, seolah dunia di sekitar mereka menghilang dan hanya ada mereka berdua, dengan tekat untuk memperbaiki segalanya.

Cw // sad Tw // bl00d, car accident, dll

———————————————————

Hari itu, cuaca cukup dingin dan jalanan sudah mulai sepi. Di dalam mobil, Dokyeom dan Joshua berbicara tentang kehidupan mereka berdua setelah menikah. Dari yang dipandang keluarga cemara, keluarga toxic, hingga harmonis. Mereka baru saja menyelesaikan kencan yang penuh tawa bahagia. Tidak ada lagi yang mereka pikirkan selain kebahagiaan malam ini.

Dokyeom tersenyum memandangi wajah Joshua yang indah, ia membayangkan bagaimana hidupnya kalau tak ada suaminya saat ini. “Maafin kesalahan mas waktu itu ya, chu?” Kata Dokyeom yang sambil mengemudi dan memegang tangan Joshua.

“Aku udah maafin kamu dari lama, mas. Kenapa minta maaf lagi?” Tanyanya.

“Mas takut.. mas takut kalau nantinya dikehidupan selanjutnya, mas gak ketemu kamu lagi.”

“HUST! Gak boleh ngomong gitu.. kita bakal sama-sama terus. Lagian kamu ini kenapa si? Aneh banget.”

“Kita harus banyak-banyak ketawa, mas. Soalnya kita udah jadi ompa-ompi buat Abi. Nanti Abi ngadu ke abang kalau kita sedih.”

Suara tawa Joshua mengisi dalam mobil. Namun, ada keheningan dalam diri Dokyeom. Ia masih memikirkan masa lalu yang udah ia lakukan terhadap suaminya itu. Meski Joshua sudah berusaha agar suasana di dalam mobil tidak hening, tetapi, Dokyeom tetap dihantui rasa penyesalan. Walaupun suaminya sudah memaafkannya dari lama.

“Mas?” Joshua menatap suaminya dengan tatapan bingung, “kamu ini kenapa si?” Lanjutnya.

Yang ditanya justru hanya bisa melihat ke luar jendela mobil, ada firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan. “Aku, aku takut, Chu.. Aku takut kalo ada yang misahin kita.” Ucapnya, ia menahan sesek di dalam dadanya.

“Hah?” Joshua tak paham dengan maksud suaminya itu. “Mas, udah deh.. jangan alay gini. Kamu, aku udah ngelewatin angin di pernikahan kita, masa masih ada yang mau misahin kita?” Joshua lupa kalau ada MAUT yang bakal memisahkan mereka berdua.

Dokyeom hanya tersenyum. Namun, ketakutan itu justru semakin terasa, kala jalanan malam itu semakin sepi dan hanya suara mesin mobil mereka yang terdengar. Mereka berdua saling hening dan terus memikirkan ketakutan itu sendiri.

Tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba suara klakson kencang terdengar dari arah berlawanan. Sebuah mobil melaju kencang menghantam mobil mereka dengan sangat keras. Firasat buruk inilah yang menghantui Dokyeom sedari tadi. Malam ini, dunia mereka berubah, tubuh mereka terlempar ke depan, kaca pecah, dan hanya terdengar suara benturan yang begitu keras.

Semuanya gelap.

Dokyeom sadarkan diri untuk pertama kali, ia menghampiri dengan perlahan tubuh sang suami yang terlempar cukup jauh darinya. Tubuhnya terasa seperti tertimpa ribuan kayu gede panjang, kepalanya pusing, tubuhnya sakit, namun, rasa sakit yang ia rasakan tak ada apa-apanya dibandingkan suaminya yang tergeletak di jalan dengan darah berlumuran, serpihan kaca ada di dekat tubuh Joshua. “C-Chu…” suara Dokyeom yang terbata-bata, ia mencoba menggerakkan tubuh sang suami, dan menaruh kepala Joshua di pahanya. “Chu! Jawab, mas.. ayok bangun, sayang…”

Namun, tak ada jawaban.

Dengan tenaga yang tersisah, ia melihat mobil mereka yang terguling, dan tubuhnya yang merasakan sakit, tetapi hatinya lebih sakit melihat sang suami tak sadarkan diri. Suara sirine menghampirinya, diangkatnya tubuh Joshua ke dalam mobil Ambulance , ia kemelihat tubuh suaminya terbaring lemah di sampingnya. Darah mengalir dari dahinya, Joshua yang biasa tersenyum, kini tak terlihat lagi.

Dokyeom mengenggam tangan Joshua, namun anehnya tangan itu terasa dingin tak seperti biasanya. “Chu.. bangun, sayang… mas disini.. bangun, Chu.. Abi masih butuh ompinya, Abang sama adek masih butuh kamu, Chu.. begitu juga dengan aku. Bangun, sayang…” untuk yang kedua kalinya, tak ada pergerakan dan jawaban.

Saat itu, Dokyeom ngerasa dunia sudah runtuh diatas kepalanya. Ia ingin berteriak sekencang mungkin, ingin melakukan apapun, namun tubuhnya terasa kaku, dan tak bisa bergerak.

Wajah Joshua yang malam itu sangat ceria, manis, terus ada di dalam pikirannya. Mengingatkan Dokyeom pada saat kencan tadi, pada pesan yang suaminya itu sampaikan, dan kini semuanya hanya tinggal kenangan. Tidak ada lagi wajah ceria dari suaminya, tidak ada lagi senyuman manis yang akan menyambutnya bangun dipagi hari, dan tak ada lagi panggilan MAS dari suaranya.

Dokyeom benar-benar merasa jiwanya sudah terpisah dari tubuhnya, mengambang begitu saja setelah kejadian malam itu.

Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru, dokter datang untuk menenangkan Dokyeom dan juga memeriksanya. Mereka berbicara sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh Dokyeom, karena pikirannya benar-benar sudah sangat kacau. Semuanya seperti mimpi buruk yang tak akan pernah hilang.

Setelah Dokyeom selesai diperiksa, ia menelpon Heeseung untuk mengabarinya bahwa saat ini ia dan jig Joshua berada di Rumah Sakit.

”Hee”

”iya, Ayah?”

”Ayah.. Ayah di Rumah Sakit..” suaranya bergetar, ia sangat hancur malam ini.

”Ayah kenapa??”

”Ayah sama papih kecelakaan, bang

Deg

Jantung Hee berhenti sejenak. Ia mencerna apa yang baru saja Ayahnya katakan.

”D-dimana, yah…

”Di Rumah Sakit Permata Harapan

”Tapi, Hee jangan sedih, ya? Nanti papih sedih juga..” lagi, lagi Hee tak mengerti apa yang Ayahnya ucapkan. Saat ini, dirinya hanya ingin segera menuju ke Rumah Sakit tersebut.

”Hee otw”

Telpon diakhiri.

Beberapa jam setelah kecelakaan tersebut, waktu seolah berhenti. Dokyeom duduk dan memandangi lorong Rumah Sakit yang sunyi malam ini, tangannya masih memegang ponsel Joshua yang masih menyala walau dengan keadaan retak. Terlihat jelas foto mereka berdua di Wallpaper ponsel suaminya. Tangisnya tak bisa ia tahan, saat Heeseung tiba di Rumah Sakit bersama Seungcheol, Jeonghan, dan juga yang lainnya.

Tubuhnya di peluk erat dengan Seungcheol, seakan-akan ia tahu kalau saat ini suami dari mantannya itu sedang hancur. “Kuat! Gue tau lu kuat! Gue yakin Joshua bisa ngelawan rasa sakitnya di dalam situ.” Ucap Cheol.

Dokter akhirnya keluar menghampiri mereka, dan menunduk pelan. “Maaf.. kita sudah berusaha semaksimal mungkin, namun pasien tidak bisa diselamatkan akibat benturan keras dari kecelakaan tersebut.” Kalimat itu seperti palu besar yang menghantam dada Heeseung, Eunchae, dan juga Dokyeom.

Dokyeom langsung berlari masuk ke Ruangan tempat Joshua berada. Ia memegang wajah Joshua yang sudah pucat, dan juga dingin. “Chu.. jangan tinggalin, mas, Chu… katanya kita bakal bareng terus, Chu.. tapi kenapa kamu ingkar?” Tangis Dokyeom pecah, menggema di Ruangan yang dingin itu.

Ruangan itu menjadi saksi bisu dari cinta yang hancur. Tempat yang seharusnya menjadi HARAPAN bagi Dokyeom, kini hanya menyisakan kesedihan. Dokyeom memeluk tubuh suami tercintanya, mencium keningnya, berharap keajaiban datang. Tapi, tak ada lagi detak jantung Joshua, tak ada lagi senyum manis Joshua saat sedang manja, tak ada suara lembut yang biasa memanggil dirinya dengan indah.

Tangannya bergetar hebat saat mengenggam tangan Joshua yang masih memakai cincin pernikahannya. “Bangun, Chu.. bilang kalo ini mimpi. Ayok marahin aku, marahin aku karna godain Abi sama adek. Ayok marahin, Chu.. bangun…” di Sudut ruangan, Heeseung berdiri kaku, wajahnya sudah basah oleh air mata yang terus mengalir. Ia ingin sekali memeluk sang papih untuk terakhir kalinya, tapi tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Ia masih mencerna kejadian malam ini. Heeseung hanya bisa menyaksikan perpisahan sang ayah dan papih yang terlalu cepat dan juga menyakitkan.

Eunchae berjalan menuju ranjang Rumah Sakit, ia memeluk tubuh sang papih yang sudah tak lagi hangat. “Papih.. bangun, papih… adek masih butuh papih…” suara Eunchae menggema seperti sembilu, menyayat hati bagi mereka yang ada disana.

Jeonghan yang hanya berdiri di depan pintu, menunduk dan menutup mulutnya yang bergetar. Ia memutar pandangan tak sanggup melihat sahabatnya kehilangan nyawanya. Sementara itu, Seungcheol berpura-pura tegar. Ia berulang kali memutarkan tubuhnya untuk menyeka air matanya yang jatuh. Semua orang tau, kalau Joshua bukan hanya suaminya, melainkan cahaya dalam kehidupan mereka.

Jake, menantu dari Dokyeom dan juga Joshua, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan menangis tanpa suara. Joshua yang selalu membela dirinya, Joshua yang menyambutnya dengan hangat saat ia main kerumahnya waktu Heeseung dan juga dirinya masih berpacaran, Joshua juga yang memberi tahu kalau Heeseung lagi marah cara membujuknya bagaimana.

Jake menghampiri Joshua yang sudah terbaring tak ada nyawa, “Pih.. Jake belum sempet bilang makasih ke papih.. makasih papih.. makasih udah nganggep Jake seperti anak papih sendiri..” Heeseung yang mendengarnya, ia langsung memeluk tubuh suaminya itu.

Wonwoo, kakak dari Dokyeom, tiba dengan langkah yang berat bersama dengan Mingyu. Ia sempat membantah saat diberitahu kabar itu, “kak Shua? Boong. Dia kuat kok. Gamungkin.” Tapi, kenyataannya.. Wonwoo melihat tubuh Joshua yang sudah terbujur kaku, kakak sekaligus adik ipar yang selama ini ia lihat, terasa runtuh.

“Kak, bangunin kak Shua, kak.. bilang ke dia kalau aku udah berubah.. bilang kalau aku gabisa hidup tanpa dia..” Wonwoo yang mendengarnya hanya bisa memeluk tubuh sang adik.

“Gue juga pengennya gitu.. tapi gabisa. Tuhan lebih sayang kak Shua…”

Pemakaman dilakukan besoknya. Di bawah langit mendung yang seolah ikut berkabung, Dokyeom berdiri paling depan bersama anak-anaknya, memegang foto besar Joshua dengan tangan yang hampir tak kuat untuk menopangnya.

Dunia seolah berjalan lambat, suara tangis dan doa bercampur menjadi satu.

—belom end, nanti dilanjut lagi setelah suasana beda gaada papih—

Cw // sad Tw // bl00d, car accident, dll

———————————————————

Hari itu, cuaca cukup dingin dan jalanan sudah mulai sepi. Di dalam mobil, Dokyeom dan Joshua berbicara tentang kehidupan mereka berdua setelah menikah. Dari yang dipandang keluarga cemara, keluarga toxic, hingga harmonis. Mereka baru saja menyelesaikan kencan yang penuh tawa bahagia. Tidak ada lagi yang mereka pikirkan selain kebahagiaan malam ini.

Dokyeom tersenyum memandangi wajah Joshua yang indah, ia membayangkan bagaimana hidupnya kalau tak ada suaminya saat ini. “Maafin kesalahan mas waktu itu ya, chu?” Kata Dokyeom yang sambil mengemudi dan memegang tangan Joshua.

“Aku udah maafin kamu dari lama, mas. Kenapa minta maaf lagi?” Tanyanya.

“Mas takut.. mas takut kalau nantinya dikehidupan selanjutnya, mas gak ketemu kamu lagi.”

“HUST! Gak boleh ngomong gitu.. kita bakal sama-sama terus. Lagian kamu ini kenapa si? Aneh banget.”

“Kita harus banyak-banyak ketawa, mas. Soalnya kita udah jadi ompa-ompi buat Abi. Nanti Abi ngadu ke abang kalau kita sedih.”

Suara tawa Joshua mengisi dalam mobil. Namun, ada keheningan dalam diri Dokyeom. Ia masih memikirkan masa lalu yang udah ia lakukan terhadap suaminya itu. Meski Joshua sudah berusaha agar suasana di dalam mobil tidak hening, tetapi, Dokyeom tetap dihantui rasa penyesalan. Walaupun suaminya sudah memaafkannya dari lama.

“Mas?” Joshua menatap suaminya dengan tatapan bingung, “kamu ini kenapa si?” Lanjutnya.

Yang ditanya justru hanya bisa melihat ke luar jendela mobil, ada firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan. “Aku, aku takut, Chu.. Aku takut kalo ada yang misahin kita.” Ucapnya, ia menahan sesek di dalam dadanya.

“Hah?” Joshua tak paham dengan maksud suaminya itu. “Mas, udah deh.. jangan alay gini. Kamu, aku udah ngelewatin angin di pernikahan kita, masa masih ada yang mau misahin kita?” Joshua lupa kalau ada MAUT yang bakal memisahkan mereka berdua.

Dokyeom hanya tersenyum. Namun, ketakutan itu justru semakin terasa, kala jalanan malam itu semakin sepi dan hanya suara mesin mobil mereka yang terdengar. Mereka berdua saling hening dan terus memikirkan ketakutan itu sendiri.

Tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba suara klakson kencang terdengar dari arah berlawanan. Sebuah mobil melaju kencang menghantam mobil mereka dengan sangat keras. Firasat buruk inilah yang menghantui Dokyeom sedari tadi. Malam ini, dunia mereka berubah, tubuh mereka terlempar ke depan, kaca pecah, dan hanya terdengar suara benturan yang begitu keras.

Semuanya gelap.

Dokyeom sadarkan diri untuk pertama kali, ia menghampiri dengan perlahan tubuh sang suami yang terlempar cukup jauh darinya. Tubuhnya terasa seperti tertimpa ribuan kayu gede panjang, kepalanya pusing, tubuhnya sakit, namun, rasa sakit yang ia rasakan tak ada apa-apanya dibandingkan suaminya yang tergeletak di jalan dengan darah berlumuran, serpihan kaca ada di dekat tubuh Joshua. “C-Chu…” suara Dokyeom yang terbata-bata, ia mencoba menggerakkan tubuh sang suami, dan menaruh kepala Joshua di pahanya. “Chu! Jawab, mas.. ayok bangun, sayang…”

Namun, tak ada jawaban.

Dengan tenaga yang tersisah, ia melihat mobil mereka yang terguling, dan tubuhnya yang merasakan sakit, tetapi hatinya lebih sakit melihat sang suami tak sadarkan diri. Suara sirine menghampirinya, diangkatnya tubuh Joshua ke dalam mobil Ambulance , ia kemelihat tubuh suaminya terbaring lemah di sampingnya. Darah mengalir dari dahinya, Joshua yang biasa tersenyum, kini tak terlihat lagi.

Dokyeom mengenggam tangan Joshua, namun anehnya tangan itu terasa dingin tak seperti biasanya. “Chu.. bangun, sayang… mas disini.. bangun, Chu.. Abi masih butuh ompinya, Abang sama adek masih butuh kamu, Chu.. begitu juga dengan aku. Bangun, sayang…” untuk yang kedua kalinya, tak ada pergerakan dan jawaban.

Saat itu, Dokyeom ngerasa dunia sudah runtuh diatas kepalanya. Ia ingin berteriak sekencang mungkin, ingin melakukan apapun, namun tubuhnya terasa kaku, dan tak bisa bergerak.

Wajah Joshua yang malam itu sangat ceria, manis, terus ada di dalam pikirannya. Mengingatkan Dokyeom pada saat kencan tadi, pada pesan yang suaminya itu sampaikan, dan kini semuanya hanya tinggal kenangan. Tidak ada lagi wajah ceria dari suaminya, tidak ada lagi senyuman manis yang akan menyambutnya bangun dipagi hari, dan tak ada lagi panggilan MAS dari suaranya.

Dokyeom benar-benar merasa jiwanya sudah terpisah dari tubuhnya, mengambang begitu saja setelah kejadian malam itu.

Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru, dokter datang untuk menenangkan Dokyeom dan juga memeriksanya. Mereka berbicara sesuatu yang tak bisa dimengerti oleh Dokyeom, karena pikirannya benar-benar sudah sangat kacau. Semuanya seperti mimpi buruk yang tak akan pernah hilang.

Setelah Dokyeom selesai diperiksa, ia menelpon Heeseung untuk mengabarinya bahwa saat ini ia dan jig Joshua berada di Rumah Sakit.

”Hee”

”iya, Ayah?”

”Ayah.. Ayah di Rumah Sakit..” suaranya bergetar, ia sangat hancur malam ini.

”Ayah kenapa??”

”Ayah sama papih kecelakaan, bang

Deg

Jantung Hee berhenti sejenak. Ia mencerna apa yang baru saja Ayahnya katakan.

”D-dimana, yah…

”Di Rumah Sakit Permata Harapan

”Tapi, Hee jangan sedih, ya? Nanti papih sedih juga..” lagi, lagi Hee tak mengerti apa yang Ayahnya ucapkan. Saat ini, dirinya hanya ingin segera menuju ke Rumah Sakit tersebut.

”Hee otw”

Telpon diakhiri.

Beberapa jam setelah kecelakaan tersebut, waktu seolah berhenti. Dokyeom duduk dan memandangi lorong Rumah Sakit yang sunyi malam ini, tangannya masih memegang ponsel Joshua yang masih menyala walau dengan keadaan retak. Terlihat jelas foto mereka berdua di Wallpaper ponsel suaminya. Tangisnya tak bisa ia tahan, saat Heeseung tiba di Rumah Sakit bersama Seungcheol, Jeonghan, dan juga yang lainnya.

Tubuhnya di peluk erat dengan Seungcheol, seakan-akan ia tahu kalau saat ini suami dari mantannya itu sedang hancur. “Kuat! Gue tau lu kuat! Gue yakin Joshua bisa ngelawan rasa sakitnya di dalam situ.” Ucap Cheol.

Dokter akhirnya keluar menghampiri mereka, dan menunduk pelan. “Maaf.. kita sudah berusaha semaksimal mungkin, namun pasien tidak bisa diselamatkan akibat benturan keras dari kecelakaan tersebut.” Kalimat itu seperti palu besar yang menghantam dada Heeseung, Eunchae, dan juga Dokyeom.

Dokyeom langsung berlari masuk ke Ruangan tempat Joshua berada. Ia memegang wajah Joshua yang sudah pucat, dan juga dingin. “Chu.. jangan tinggalin, mas, Chu… katanya kita bakal bareng terus, Chu.. tapi kenapa kamu ingkar?” Tangis Dokyeom pecah, menggema di Ruangan yang dingin itu.

Ruangan itu menjadi saksi bisu dari cinta yang hancur. Tempat yang seharusnya menjadi HARAPAN bagi Dokyeom, kini hanya menyisakan kesedihan. Dokyeom memeluk tubuh suami tercintanya, mencium keningnya, berharap keajaiban datang. Tapi, tak ada lagi detak jantung Joshua, tak ada lagi senyum manis Joshua saat sedang manja, tak ada suara lembut yang biasa memanggil dirinya dengan indah.

Tangannya bergetar hebat saat mengenggam tangan Joshua yang masih memakai cincin pernikahannya. “Bangun, Chu.. bilang kalo ini mimpi. Ayok marahin aku, marahin aku karna godain Abi sama adek. Ayok marahin, Chu.. bangun…” di Sudut ruangan, Heeseung berdiri kaku, wajahnya sudah basah oleh air mata yang terus mengalir. Ia ingin sekali memeluk sang papih untuk terakhir kalinya, tapi tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Ia masih mencerna kejadian malam ini. Heeseung hanya bisa menyaksikan perpisahan sang ayah dan papih yang terlalu cepat dan juga menyakitkan.

Eunchae berjalan menuju ranjang Rumah Sakit, ia memeluk tubuh sang papih yang sudah tak lagi hangat. “Papih.. bangun, papih… adek masih butuh papih…” suara Eunchae menggema seperti sembilu, menyayat hati bagi mereka yang ada disana.

Jeonghan yang hanya berdiri di depan pintu, menunduk dan menutup mulutnya yang bergetar. Ia memutar pandangan tak sanggup melihat sahabatnya kehilangan nyawanya. Sementara itu, Seungcheol berpura-pura tegar. Ia berulang kali memutarkan tubuhnya untuk menyeka air matanya yang jatuh. Semua orang tau, kalau Joshua bukan hanya suaminya, melainkan cahaya dalam kehidupan mereka.

Jake, menantu dari Dokyeom dan juga Joshua, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan menangis tanpa suara. Joshua yang selalu membela dirinya, Joshua yang menyambutnya dengan hangat saat ia main kerumahnya waktu Heeseung dan juga dirinya masih berpacaran, Joshua juga yang memberi tahu kalau Heeseung lagi marah cara membujuknya bagaimana.

Jake menghampiri Joshua yang sudah terbaring tak ada nyawa, “Pih.. Jake belum sempet bilang makasih ke papih.. makasih papih.. makasih udah nganggep Jake seperti anak papih sendiri..” Heeseung yang mendengarnya, ia langsung memeluk tubuh suaminya itu.

Wonwoo, kakak dari Dokyeom, tiba dengan langkah yang berat bersama dengan Mingyu. Ia sempat membantah saat diberitahu kabar itu, “kak Shua? Boong. Dia kuat kok. Gamungkin.” Tapi, kenyataannya.. Wonwoo melihat tubuh Joshua yang sudah terbujur kaku, kakak sekaligus adik ipar yang selama ini ia lihat, terasa runtuh.

“Kak, bangunin kak Shua, kak.. bilang ke dia kalau aku udah berubah.. bilang kalau aku gabisa hidup tanpa dia..” Wonwoo yang mendengarnya hanya bisa memeluk tubuh sang adik.

“Gue juga pengennya gitu.. tapi gabisa. Tuhan lebih sayang kak Shua…”

Pemakaman dilakukan besoknya. Di bawah langit mendung yang seolah ikut berkabung, Dokyeom berdiri paling depan bersama anak-anaknya, memegang foto besar Joshua dengan tangan yang hampir tak kuat untuk menopangnya.

Dunia seolah berjalan lambat, suara tangis dan doa bercampur menjadi satu.

—belom end, nanti dilanjut lagi setelah suasana beda gaada papih—

Cw // sad Tw // bl00d, car accident, dll

———————————————————

h

Heeseung segera berlari ke Toilet tempat dimana sang suami berada. Ia merasa gelisah dengan keadaan Jake saat ini. Padahal, awalnya ini merupakan permainan yang Heeseung buat, tetapi ia juga yang khawatir dengan suaminya itu. Sebab, ia menaruh sebuah obat di dalam sebuah gelas yang Jake akan minum. Ia tak habis pikir kalau obat yang ia taruh, langsung membuat Jake terangsang begitu cepat.

Sesampainya ia di Toilet, ia memanggil nama Jake, “Jake..” Tak ada jawaban. Heeseung mencoba membuka pintu kamar mandi satu persatu. Begitu ia coba pintu terakhir, pintu tersebut terkunci. Ia memanggil suami nya sekali lagi, “Jake” setelah panggilan kedua, Jake membuka pintu kamar mandi, dan langsung menarik Hee begitu saja ke dalam.

“Kamu kenapa?” Tanya Hee.

“Gatau, aku ngerasa panas banget, gerahh, gatel juga lubang aku..”

“Maaf.. aku naruh obat diminuman kamu tadi.”

“Kamu gila? Kenapa gak di Rumah aja? Kenapa harus disini?” Tanya Jake yang sambil membuka seluruh pakaiannya, dan berhasil memperlihatkan tubuhnya yang cantik, seksi menurut suaminya.

Heeseung saat ini merasakan hawa kamar mandi yang menjadi panas, akibat ulah dirinya. Kejantanan Heeseung yang sudah mulai tegak juga sudah tak sabar ingin memasuki lubang milik si cantik nya itu.

“Kenapa? Kenapa gak langsung masukin, Hee? CEPET MASUKIN, AHHHH~” Heeseung langsung membuka celana nya, dan mengoleskan pelumas di penis nya itu agar nanti nya tidak menyakiti Jake.

Heeseung mulai memasuki penisnya ke lubang milik Jake yang sudah berkedut itu. “Ahhhh bang, mentokkin bang arghh.. nnghhhhh bang..”

“Enak ya, Jake? Mau tambah lagi temponya?” Jake mengangguk. Heeseung menambah tempo kecepatan sesuai permintaan si cantik nya.

“Nnnggghhhh ahh ahhh enak Hee, mau di masukin sampe keluar~”

“Akhh ahh ahh ahh ngghh”

Heeseung sangat puas dengan permainannya malam ini. Sampai-sampai ia lupa dengan ketikan Ayahnya tadi, ”Ayah hukum kalian berdua” Sudah mabuk dengan Alkohol ditambah mabuk dengan Jake malam ini. Entah hukuman apa yang Ayahnya berikan pada dirinya, dan juga Jake, ia tak perduli. Yang terpenting malam ini, Heeseung tengah membuat Abi kedua.

“Mau pakai jari juga?” Tanya Hee.

“Bentar Hee.. mau pipis ssshhhh” Jake beneran sudah lemas kali ini akibat permintaannya yang meminta Hee buat menambah tempo genjotannya itu.

“Keluarin Yeyun, keluarin yang banyak di depan aku” Jake langsung mengeluarkan cairannya, dan membuat Hee terpesona dengan muka Jake yang lemas itu.

“Udah Jake? Mau pakai jari sekarang?” Jake mengangguk. Kini, Heeseung mendudukkan tubuh Jake diatas Closet , dan langsung memasukkan dua jarinya tanpa pelumas, karena lubang Jake saat ini sudah sangat basah.

“Aahhhh, ngghhhh enak Hee. Cepetin plisshhh…”

“Kamu sange banget, ya?”

“Ngghhh”

“Gak takut dihukum Ayah? Tadi Ayah udah chat aku” Jake benar-benar tak menghiraukan ucapan dari suaminya itu, saat ini ia benar-benar kacau karena obat yang diberikan oleh Hee.

“Hee, mau keluar ahhhhh ssshhh”

Heeseung melepaskan jarinya, dan membiarkan Jake kembali mengeluarkan cairan.

“Mau kulum penis kamu…” Tanpa menunggu persetujuan Hee, Jake langsung mengulum penis Hee yang gede ke dalam mulutnya.

“Gwedeeee bangethhh sayanghhhh”

“Udah jangan banyak omong, nanti kamu keselek. Inget Abi di Rumah”

“Ngghhhh” Heeseung menikmati kuluman manis dari suami cantiknya.

Heeseung melepaskan penisnya dari dalam mulut Jake, dan menyemburkan spermanya ke arah wajah cantik yang sekarang ada di depannya.

“Cantik, i love you, Jake.”

Kini semua sudah berada di Rumah Sakit tempat Joshua melahirkan. Kecuali dengan suaminya itu, Dokyeom. Ia benar-benar tak membalas pesan dari siapapun, bahkan dari kakak nya sendiri. Walaupun semuanya sudah tau kalau Dokyeom itu selingkuh, tetapi, ini menyangkut nyawa anak, dan suaminya.

“Nu, udah di telpon Dokyeom?” Tanya Seungcheol kepada Wonwoo.

“Udah bang. Tapi gadiangkat…” katanya.

“Adek lu anjing juga gue liat-liat, Nu..” ucap Seungcheol yang sudah tak bisa menahan amarahnya.

“Mas, tahan, ya? Joshua lagi berjuang di dalem.. kamu jangan gegabah.” Itu suara Han yang sambil mengelus bahu Seungcheol.

“Iya, Han.”

15 menit menunggu, akhirnya suara yang ditunggu tiba.

Oeee.. oee…

Dokter pun keluar, “suami pasien yang mana?” Tanyanya. Dan semua orang yang berada disitu saling tatap.

Jeonghan mengangkat tangannya, “saya kakaknya, Dok. Suaminya lagi diluar kota.”

“Ohh boleh.. silahkan masuk.” Jeonghan dan juga Dokter masuk ke ruang bersalin. Melihat Joshua yang tengah mencium sang buah hati.

“Han.. Dokyeom ada?” Jeonghan tak menjawab.

“Han?”

“Gaada, Shu. Dia lagi sama selingkuhannya..”

Sakit. Benar-benar sakit. Disaat dirinya sedang mempertaruhkan nyawanya, justru sang suami malah asik bermain dengan selingkuhannya itu.

“Gue mau kesana, Han. Pegang bayiknyaa..” Joshua melepas semua alat yang ada di tubuhnya, dan ia mencoba menguatkan diri untuk bangkit dari ranjang.

“Josh, jangan.” Han tetap menahan Joshua, tetapi tak bisa. Bahkan orang yang di dalem pun juga tak bisa.

Pintu kebuka, Joshua keluar dengan air mata yang menahan sakit di hati nya. Tak hanya sakit hati, ia juga sakit fisik karna baru saja melahirkan.

“Shu, mau kemanaaaa?” Tanya Seungcheol.

“Gue mau ke Dokyeom, Cheol.. anterin gue plishhh..” Joshua meringis kesakitan.

“Engga. Lu harus disini, Shu. Lu belum sembuh total..” kata Seungcheol yang masih berusaha menahan Joshua.

“Kalo lu gamau anterin, GUE BISA NAIK TAKSI!” Tegasnya.

“Okee. Okee, gue anterin. Tapi lu pas disana jangan gegabah.” Joshua mengangguk. “Siapa yang mau ikut gue?” Tanya Seungcheol.

“Gue.” Mingyu menjawab.

“Gue, bang.” Wonwoo juga.

“Oke. Yang lain bantuin Han urus bayiknya, ya.” Semua mengangguk. Kini Seungcheol, Mingyu, Wonwoo, dan juga Joshua, segera berangkat menuju Hotel yang sudah terdektesi di handphone milik Joshua. Sebab, ia menaruh alat pelacak di tempat yang tak diketahui oleh suaminya itu.

Jarak antara Rumah Sakit dan juga Hotelnya sekitar 30 menit. Joshua berusaha menahan sakitnya demi bertemu suaminya itu.

Mereka tiba di Hotel tersebut, dan menanyakan ruangan tempat Dokyeom menginap.

“Misi mba, mau nanya, atas nama Lee Seokmin diruang berapa, ya?” Tanya Wonwoo.

“Ruang 202, mas. Di lantai 2.”

“Baik, mba. Terimakasih.”

Mereka berjalan ke arah lift untuk menuju ruangan Dokyeom berada. Joshua benar-benar tak bisa menahan sakitnya. Mingyu mengambil kursi roda yang telah di berikan oleh security. “Kak, naik ini, ya?” Joshua menuruti perkataan Mingyu, dan dirinya duduk di kursi roda tersebut.

Tiba di lantai 2, mereka segera mencari ruanga 202 tersebut. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka menemukannya. Seungcheol menekan bel yang ada di depan pintu kamar nya.

ting nong

ting nong

Pintu terbuka, betul. Dokyeom yang membukanya. Ia membuka dengan mata yang masih sayup, ia tak sadar bahwa yang datang itu ialah suaminya.

“Mas” ucap Joshua yang sambil gemetar.

Dokyeom mengucek matanya, “CHU?? Kamu ngapain disi—“ Dokyeom juga melihat ada sang kakak, Mingyu, dan juga Seungcheol. “Loh, kok? Kalian ngapain disini? Aku lagi kerja loh..” ucapnya

“Kerja sambil ngewe?” Wonwoo menunjukkan postingan yang ada pada akun Dokyeom.

“Kak? Itu dapet darimana?”

“Akun lu lah. Galiat ini nama nya?”

“Kak..”

Seungcheol nerabas masuk kedalam, dan benar saja ada seorang wanita yang tak mengenakan pakaian dan hanya dililit oleh selimut.

“kalian ngapain disini?” Tanya cewek tersebut.

“JUSTRU GUE YANG HARUS NYA NANYA SAMA LO! NGAPAIN SAMA SUAMI GUEE BRENGSEK?!” Ucap Joshua.

“Chu udah, Chu.. jangan kayak gini.. malu nanti orang Hotel pada tau.” Ucap Dokyeom yang mencoba menahan emosi sang suami.

“Mas, kamu tau enggak si kalo aku ini lahiran? Kamu cek handphone kamu enggak si? Hah?!”

“Chu.. mas minta maaf.. mas beneran minta maaf..” Dokyeom kini berlutut dihadapan Joshua.

“Gausah kayak gini mas. BASI!” Ucap Joshua.

“Bisa-bisanya kamu ngewe pas aku mau lahiran, mas.. anak ketiga kamu, mas, mau lahir.. mau liat Dunia. Tapi apa? Ayahnya malah jadi bajingan kayak gini. Jangan harap ya mas kamu bisa liat anak ketiga kamu. Dan semoga Abang enggak mukulin kamu.” Kata Joshua yang keluar dari kamar tersebut.

Sebelum yang lainnya keluar, Seungcheol menghantam pipi kiri Dokyeom.

BUGH

“ANJING! HARUSNYA JOSHUA GAUSAH RUJUK SAMA LO BANGSAT!”

“Bang.. gue minta maaf..” suara Dokyeom yang menahan rasa sakit dari pukulan Seungcheol.

“Kali ini gue bener-bener benci sama lo! Anak-anak lo biar gue aja yang urus. Lo urus lonte lo ini aja!!” Ucap Seungcheol yang juga ikut keluar dari kamar najis tersebut.

Joshua menangis dengan didampingi Wonwoo. Benar, Wonwoo tak buka suara selain tadi di pintu. Ia benar-benar malu dengan perilaku adiknya itu. Bahkan, ia juga udah tak sudi menyebut Dokyeom dengan sebutan Adik.

Demi Tuhan, rasanya Wonwoo ingin membunuh sang adik waktu itu juga. Tetapi, Wonwoo masih memikirkan perasaan Joshua yang statusnya masih menjadi suami adiknya itu. Dan ia juga memikirkan ponakannya tersebut. Bagaimana perasaan Heeseung dan juga Enchae, kalau tau Ayahnya menjadi bajingan lagi. Dan bagaimana hancurnya hati Heeseung yang lagi-lagi melihat perilaku buruk Ayahnya itu.

”Hee, semoga sikap kamu enggak seperti Ayah kamu yang brengsek itu, yaa..” ucapnya dalam hati.

Heeseung tiba terlebih dahulu di Cafe yang sudah diberitahu oleh Jake. Ia duduk di meja pojok dekat dengan jendela agar bisa menatap langit yang cukup cerah petang ini.

Tak lama, Jake tiba di Cafe terserbut dan mencari keberadaan Heeseung. Jake melihat Heeseung yang sudah tiba di meja pojok tadi, ia segera menghampiri nya. “Hai. Maaf lama.” Ucap Jake yang dipersilahkan duduk oleh Hee. “Udah mesen minum, atau makan?” Tanya Jake. Hee menggeleng. Menandakan ia belum memesan apapun.

“Aku pesenin minuman, ya?” Hee mengangguk. “Kamu mau minum apa?” Lanjutnya.

“Air putih aja, Jake.” Ucapnya.

Lalu Jake berjalan ke arah kasir untuk memesan minuman minuman untuknya dan juga untuk Heeseung.

“Mas, mau satu ice chocolate, dan satu air putih. Duduknya dipojok yang itu ya, mas.”

“Baik, kak. Ada lagi?”

“Itu aja.”

“Totalnya 25.000, kak.” Jake membayarnya, dan uang itupun diterima oleh kasir. “Baik, terimakasih kak. Nanti minumannya kami antar.” Jake meninggalkan kasir tersebut dan kembali duduk di mejanya.

“Udah nunggu lama, ya?” Tanya Jake pada Hee.

“Belum, kok.”

“Jadi, tujuan kamu ngajak ketemu itu buat apa, Hee? Setelah kamu ninggalin aku sendirian dalam keadaan aku hamil Abi.” Ucap Jake.

“Maaf, Jake.. aku terlalu pengecut waktu itu. Bahkan, aku gatenang dalam 10 tahun ini. Aku waktu itu takut sama Ayah, dan papih. Jadi, aku ninggalin kamu.. maaf sekali lagi..” ucapnya yang sambil memegang tangan Jake.

“Lepasin Hee, udah bukan siapa-siapa.”

Sakit. Memang sakit bagi Hee. Namun, ia melepaskan tangannya dari tangan Jake sesuai permintaannya.

“Abi besar tanpa sosok Ayah, Hee, asal kamu tau. Aku tiap malem nangis, ngebayangin dia gedenya bakal gimana, bakal nanyain tentang Ayahnya atau engga, dibully temen-temennya atau engga, aku juga gatenang Hee selama ini. Untungnya Sunghoon sama Sunoo pindah rumah deket sama aku. Jadinya Abi main sama anak mereka dirumahnya. Aku kerja, banting tulang sendiri, demi siapa? Demi Abi. Tapi kamu tiba-tiba dateng, Hee. Setelah 10 tahun, kamu kemana!!” Jake berbicara sambil mulut bergetar.. ia tak benar-benar menahan semuanya sendirian selama 10 tahun.

“Kalo kamu minta untuk balik, aku belum siap. Tapi kalo kamu minta buat ketemu sama Abi, nanti aku tanyain dulu anaknya mau apa engga.” Lanjut Jake.

“Aku bener-bener minta maaf Jake atas kesalahan aku selama 10 tahun ini yang udah bikin kamu menderita.. aku gamaksa kamu buat nerima aku lagi. Tapi tolong, temuin aku sama anak aku.. aku mau liat anak aku hidup, Jake.. tolong izinkan aku..” Heeseung benar-benar mengemis agar ia di izinkan untuk bertemu sang anak.

“Nanti aku kasih nomor Abi. Cuma, tunggu dapet izin dari dia dulu. Dia sekarang lagi main dirumah Hoon.”

“Iya, Jake, makasih, yaa..”

“Ayah, sama papih apa kabar?” Tanya Jake.

“Baik. Papih kadang masih suka nanyain kamu.. aku udah jujur ke papih, tapi ke Ayah belum.. takut. Cuma papih ngasih syarat, kalo Abi sama kamu kerumah, nanti dibantuin ngomong sama papih.”

“Nanti aku kasih kabar lagi ya, Hee. Abi lagi sibuk-sibuknya main.. apalagi Taesan rumahnya deket.”

“Taesan?”

“Anak Sunghoon sama Sunoo.”

“Ohh”

“Yauda, diminum Hee.”

Heeseung izin kembali ke kamar sebentar untuk berbicara dengan suaminya. “Yah, bentar, yaa..” Dokyeom mengangguk.

Ia membuka pintu kamar, dan melihat Jake yang sudah menangis di pojokkan. “Jake” panggil Heeseung. Sebenarnya Jake takut dengan panggilan itu. Karena, itu panggilan dari Heeseung kalo ia sedang marah.

“Liat aku” Jake menuruti permintaan suaminya, dan menatap mata Hee. “Aku gasuka kamu ngetik kayak tadi. Aku cuma mau ngurusin kerjaan bentar.. sama aku mau nanya ke papih tentang masalah kandungan. Dan satu lagi, kamu punya aku, Jake. Punya papih, punya Ayah, kamu gasendirian. Aku gasuka Jake..” lanjutnya.

“Kamu sibuk, Hee. Kamu kalo pulang kerja selalu langsung tidur. Kalo engga tidur, ke kamar Ayah atau ke Ruang tamu. Aku kangen di perhatiin kamu..”

“Kan aku bilang tadi, aku ngurusin kerjaan..”

“Yauda kalo gitu kamu gausah kerja deh.”

Heeseung terkejut dengan ucapan suaminya itu. “Maksudnya?” Tanyanya bingung.

“Kamu gausah kerja, biar Ayah yang kerja. Kamu sama aku aja dirumah.”

“Jake, gila kamu ya? Kalo aku gakerja, kamu mau makan apa? Mau makan nasi sama garem?”

“Aku gamakan juga gapapa!”

“Kamu ini lagi kenapa si?”

“AKU TUH KANGEN HEE” Jake meninggikan nada bicaranya.

“Ya kalo kangen bilang! Nanti aku lakuin yang kamu mau.”

“Aku capek. Aku capek bawa anak kamu kemana-mana, aku capek, Hee. Aku butuh di semangatin sama kamu!”

“Kamu pikir aku di kantor gak capek? CAPEK! Jangan seolah-olah kamu doang yang capek, Jake.” Heeseung tak mau kalah, dirinya juga ikut meninggikan nada bicaranya.

“Capek apa? Aku tau dari Chenle kalo kamu sering ke Cafe. Emang aku gapunya mata-mata?!”

“Kalo kamu emang capek bawa anak kita, yauda. ILANGIN AJA ITU BAYIKNYA!” Perkataan Heeseung kali ini benar-benar menyakitkan, ia langsung lemas terduduk di lantai. Ia tak bisa membalas perkataan Hee yang tadi keluar dari mulutnya.

“Jahat kamu! Aku benci sama kamu!”

“Terserah!” Heesung mendobrak pintu kamarnya dan segera kembali menuju ke Ruang tamu.

Sedangkan Jake di kamar hanya bisa menangis, kata-kata yang tadi Hee lontarkan terus terngiang-ngiang di telinganya. * ILANGIN AJA ITU BAYIKNYA* sungguh ia benar-benar membenci suaminya itu. Bisa-bisanya Heeseung berbicara seperti itu pada saat mendekati tanggal persalinan.

Heeseung duduk di Ruang tamu dengan sang papih, dan ayah. “Kenapa?” Tanya Ayah.

“Gapapa”

“Tadi Ayah sama papih denger. Kamu nyuruh Jake gugurin kandungannya disaat tanggal persalinannya sudah deket?” Heeseung menunduk. “JAWAB!” Kini dirinya yang dimarahi oleh sang ayah.

“Iya. Abisnya Jake nyuruh Hee berhenti kerja, terus dia bilang capek bawa-bawa anak aku.” Papih hanya bisa mengelus dadanya disaat rumah tangga sang anak tengah diterpa angin.

“Terus kamu bales dengan ngomong kayak gitu Hee? Apa kamu gakasian sama Jake? Kan yang ngehamilin Jake kamu juga. Jadi ini bukan tanggung jawab Jake doang, tapi kamu juga. Kalo emang kamu gamau anak itu, biar ayah kasih ke daddy sama papah.” Ucap sang ayah yang sudah benar-benar tak habis pikir dengan putranya itu.

“Terus Hee harus apa..”

“Ya minta maaf. Hee, hormon orang hamil gabisa ditebak. Kamu bisa sampai sebesar ini karna siapa? Karna papih sama ayah kamu. Dulu papih juga sempet nyerah karna waktu papih hamil kamu, ayah ngelakuin kesalahan fatal. Tapi apa? Papih berhasil mempertahankan kamu, dan ngasih ayah kamu kesempatan. Minta maaf Hee, minta maaf sebelum Jake bawa anak kamu pergi. Kalo Jake masih marah, biarin aja. Wajar. Karna kata-kata kamu udah nyakitin perasaan dia. Papih sama Ayah gangajarin kamu kayak gini. Minta maaf ya, abang..” kata papih yang berhasil mengetuk pintu hati Hee.

“Iya papih.”

Heeseung kembali memasuki kamarnya. Jake masih menangis di pojokkan sambil mengelus perutnya. Hee mendekati Jake secara perlahan, “Yeyun..” yang dipanggil tak membalas. “Maafin aku.. maaf soal perkataan aku.. aku nyesel. Maafin aku sayang..” Hee menunduk di hadapan Jake. Sedangkan Jake, ia masih tak mau membalas perkataan Hee.

Papih mencoba masuk ke kamar mereka berdua, dan membantu untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut.

“Jake..” panggil Papih.

Mata Jake sungguh sembab, ia seperti tak tidur beberapa hari. “Maafin anak papih ya? Mungkin dia gatau kalo hormon orang hamil seperti ini.. apalagi kalian kan baru menjadi orang tua, jadi maklum aja kalo Hee gatau. Papih bukan membela anak papih, tapi.. yang papih bicarakan betul bukan?” Jake mengangguk. “Nah, gapapa ya Hee kerja? Nanti papih suruh dia lebih perhatian sama kamu.. atau kamu kalo bete, ke kamar papih aja. Atau mau coba belanja baju bayik? Kalo emang masih butuh waktu, bilang ya nak..” ucap papih.

“Jake masih butuh waktu, pih.. kata-kata Hee tadi masih terdengar jelas di telinga aku.” Katanya.

“Oh yasudah, nanti papih suruh Hee tidur di kamar adeknya dulu, yaa.. kalo kamu butuh sesuatu, chat papih.” Jake mengangguk.

“Makasih papih.”

“Hee, kamu ke kamar adek kamu dulu, yaa.. biarin Jake nenangin diri.”

“Iya pih.”