Dipagi hari yang cerah, Jaeden dan Asha sibuk beberes barang barang yang hendak mereka bawa, agar tak ada yang ketinggalan nantinya.
Pesawat yang akan di naikin keluarga kecil ini, akan take off pukul 15.00 waktu London. Namun, Jaeden tak sabaran sehingga ia menyuruh Asha segera cepat menaruh koper ke bagasi mobil.
“Asha cepet, nanti ketinggalan pesawat.” Kata Eden yang teriak dari luar pintu.
“Sabar si, lagian take off aja jam 15.00, kita udah berangkat jam 10.00 pagi.” Geram Asha.
“Maaf, saya udah gasabar soalnya mau liat Indonesia kembali.” Namun Asha hanya menatapnya sini. “Sha, saya kan udah minta maaf. Gaboleh marah marah sama suami, gabaik.”
“Berisik, mending gendong El.”
“Siap boss.”
Jaeden dan Asha tiba di bandara pukul 11.15, perjalan dari rumah menuju bandara cukup jauh, belom lagi macet.
Kini mereka menuju ke terminal 2 yang ada di bandara. Asha yang repot menggandeng El, dan juga membawa koper, ia meminta untuk Jaeden yang membawa kopernya. “Den, bawa si. Udah tau anak kamu gabisa diem, nih.”
“Marah marah mulu.”
“El jangan lari lari!!!” Teriak Asha. Asha pun menyusul kemana arah pergi nya El.
Sementara itu, Jaeden sedang sibuk membawa 3 koper tanpa bantuan siapapun. “Hadehh ternyata begini repot nya pergi sama bini, dan anak.”
Waktu menunjukkan pukul 14.00 waktu London, dimana sejam lagi pesawat London airlines itu akan segera take off.
Jaeden, Asha, dan El segera memasuki pesawat dan duduk dikuris masing masing.
Asha duduk di deket jendela, El di tengah, dan Jaeden di pinggir. Asha yang tiba tiba menarik El, El pun terkaget “ih bunda, pelan pelan El kabet tau.” Asha hanya tertawa cekikikan dengan tingkah gemes anaknya itu.
“Bunda bisikin,” El yang penasaran pun mendekatkan telinganya, “sekarang hari ayah, kamu ucapin ke papah kamu, sambil cium. Terus bilang “pah, papah waktu dulu sempet punya mantan namanya Renata ya, pah?” Asha tak kuat menahan tawa, sehingga Jaeden yang merasa ke ganggu ia langsung menegor Asha.
“Apasi, Sha?”
“Hah?engga hahaha.”
Jaeden yang tak perduli, ia kembali memasang earphone ke telinganya. Namun tiba tiba, El mencabut nya, “Kenapa, jagoan papah?”
“Pah, dulu waktu papah sebelum sama bunda, papah punya mantan namanya Renata, ya?” Jaeden yang mendengar nya shock, ia sontak melihat ke arah Asha yang kini memalingkan wajahnya menghadap jendela.
“Sha, gausah pura pura galiat, madep saya sini.” Asha yang mencoba menahan tawa, ia membalikkan wajahnya dan menghadap wajah Jaeden.
“Kamu ngasih tau El kalo Renata mantan aku?”
“Engga tuh, El tau sendiri.” Asha kembali menghadap jendela untuk menahan tawa.
“Asha, saya serius.”
Tiba tiba pengumuman bahwa pesawat akan segera take off terdengar. *perhatian, bagi seluruh penumpang London Airlines harap memakai sabuk keselamatan selama berada di dalam pesawat. Pesawat akan segera take off, terima kasih.”
“Tuh denger, diem mau terbang.” Kata Asha yang menyuruh Jaeden untuk diam.
Jaeden hanya menghela napas, sedangkan Asha masih saja menahan tawa.
Kini pesawat mereka tiba di banda Soekarno Hatta. “Hallo, Indonesia…” Kata Asha yang sangat senang menghirup udara kembali di Tanah kelahirannya ini.
“Den, udah cari hotel?”
“Kamu lupa? Kan aku ada appartemen disini.” Asha menepok jidatnya, “maaf, bunda lupa hehe.”
“Istirahat dulu ya, besok baru kita kerumah papah sama Tyson. Oke?” Asha mengangguk.
Jaeden yang sudah bangun lebih awal, kini memandangi wajah dari sang istri. “Sha, kamu hebat. Kamu hebat, bisa ngelewatin ini semua. Dari kamu terjebak dalam permainan teman saya dan mantan saya, sampai kepergian orang yang kamu sayangi. Terima kasih, terima kasih sudah memberi saya kesempatan kembali. Iloveyou.” Asha yang merasakan bibirnya dicium, ia terbangun. Dan dilihat sosok laki-laki yang sedang tersenyum di hadapan nya sekarang, “morning, bunda Asha…” kata Eden.
“Morning too. Udah awas awas, nanti anaknya liat, gabaik tau.” Kata Asha yang menyuruh Jaeden untuk segera menyingkir dari hdapannya.
“Mau gangguin El ah…”
“Eden Jang—“
“Utututu anak papah belom bangun, yuk bangun. Bantuin papah, soalnya papah diomelin terus sama bunda… bangun bangun, nanti papah kasih mainan.” Jaeden yang gemes karna anaknya tak bangun juga, ia memulai aksinya dengan mencium seluruh bagian wajah dari anaknya itu.
“EDEN JANGAN, NANTI EL BANGUN.” Tiba tiba saja, tangan El bergerak dan menabok kepala papahnya tersebut.
“Aduh, dasar sama kaya bundanya.” Asha hanya tertawa melihat Eden yang kena pukulan dibagian kepala, akibat ulah tangan anak nya.
“E-eh papah, maaf pah El gasengaja. Lagian ngapain ciumin El, si?” Anak itu memang sangat pandai berbicara. Sampai-sampai Asha dan Eden heran kenapa bisa anaknya bisa pintar berbicara seperti sekarang.
“Yauda buruan mandi, kita ketemu kakek dan om kamu.”
“Om?”
“Udah sono mandi sama bunda.” El pun menurut, dan dia menyusuli bundanya ke kamar mandi.
Jaeden dan keluarga kecilnya pun, berangkat dari hotel menuju makam, tempat dimana papahnya dan Tyson di makamkan.
“Pah? Kita mau kerumah kakek? Asikkk…” Jaeden hanya tersenyum, wajar saja kalau anaknya itu senang. Karna dari ia di dalam perut Asha dan sampai sebesar ini, papah Eden sudah tidak ada. “Iya kita kerumah kakek.” Kata Eden.
Setelah 35 menit diperjalanan akibat macet, kini mereka sudah tiba di tempat pemakaman. El pun bertanya pada papah nya, “pah? Kok kita kesini? Serem pah, ihhh” Eden mencoba menenangkan El yang berusaha ingin kembali ke mobil.
“El, ini rumah kakek… nanti abis itu kita kerumah om ya.” El mengangguk menuruti perintah papahnya.
“Pah, Eden dateng. Kali ini Eden ga cuma berdua, sekarang ada El. Kenalin pah, cucu papah, namanya Rayya Elio Bachtiar. Bagus kan pah namanya? Ohiya, selamat hari ayah. Terima kasih sudah menjadi papah terbaik, Eden sayang papah.”
“Pah, jangan nangis.” Kata El yang mengelap air mata Eden di pipinya.
“Pah, murid bapak yang kata bapak ngeselin dateng lagi. Sekarang dateng sama cucu papah… papah pasti bahagiakan? Pasti dong hehe. Asha doain papah tenang disana.”
“El doain kakek.”
“Okee pah.”
Selesai doa dan menabur bunga, kini mereka berpamitan karna mau kemakam Tyson. “Pah, Eden, Asha, sama El pamit dulu. Mau ke makam Tyson hehe, sekali lagi, selamat hari AYAH.”
“Mau ke tempat om ya, pah?” Jaeden mengangguk, “Om ini pacar nya bunda.” Tangan Jaeden langsung diserang dengan cubitan dari Asha.
“Jangan dengerin, papah kamu gila, El.”
Setelah berjalan kurang lebih melewat 3blok, kini mereka tiba di pemakaman tempat dimana Tyson di makamkan. “Son, aku dateng sesuai janji.”
Mereka pun mulai berdoa. “Pah, ada hewan…” Hewan yang dimaksud El adalah Kambing. Memang, banyak sekali kambing yang berkeliaran di sekitar makam.
Setelah mereka selesai berdoa, abit itu lanjut menyebar bunga. “Son, anak saya sama Asha, kenalin namanya Rayya, dipanggil El. Ohiya El sini, ini om Tyson, pacar bunda kamu. Bunda sangat sayang sama om Tyson, gara-gara papah, om Tyson ada disini.” Asha langsung menginjak kako Eden, “Sha, sakit. Son liat Son, cewe kamu sekarang galak banget.”
“Ah yasudah, saya sama El ke mobil duluan. Biarkan Asha melepas rindu nya sama orang tercinta. Sha, saya sama El duluan ke mobil, ya?” Asha mengangguk.
“Hai, aku baik baik aja. Maaf ya baru kesini lagi, soalnya tunggu El gede hehe. Ohiya, Diffa dan yang lain gabisa dateng, jadi aku wakilin aja sekalian, gapapakan? Jujur, aku kangen, kangen sekali. Maaf kalo aku masih mencintai kamu sampai saat ini. Son, andai kamu masih disini, mungkin sekarang kita hidup bahagia. Aku sama Jaeden bahagia, tapi… ah gausah dibahas hehe. Aku kangen banget, kangen ngelukis, kangen jalan jalan, kangen ngeliat tingkah random kamu itu. Kangen semuanya. Kan, aku nangis lagi hehe. Maaf ya aku nangis, jangan dimarahin. Yauda aku pamit ya… udah sore, dateng ke mimpi ya, Son. I love you.” Asha mencium batu nisan Tyson.
Jaeden yang melihatnya terharu. Begitu sayangnya Asha terhadap Tyson, andai gue dulu gadateng ke kehidupan Asha, mungkin sekarang Tyson sama Asha hidup bahagia.
”Terima kasih,masalalu. Terima kasih Tyson, terima kasih sudah memberikan rasa sayang dan cinta yang begitu luar biasa. Sekarang aku udah mempunyai keluarga kecil yang membuat aku bahagia. Aku punya suami yang sayang sama istri dan anak, punya anak yang ganteng dan pinter. Aku belajar dari kesalahan Renata, bahwa kesempatan itu tak datang dua kali. Dan jangan pernah menyia-nyiakan seseorang yang kita sayang. Diffa, Annisa, Atuy, dan Arifah, terima kasih sudah menjadi teman baik. Dimanapun kalian berada, semoga kalian sehat selalu.”