Ada Apa dengan Gengsi
By. qianwoole11xd
“Benar kata bunda, dibalik rasa gengsi, ada cinta yang terpendam.”
Genre: romance
Tag Warning: none
Kalea memijat dahinya frustasi, beberapa kali juga dirinya mencoba menghubungi Nata yang tak kunjung menjawab telepon darinya. Bunda yang juga sedari tadi melihat putrinya mondar-mandir seperti terlihat sedang mencoba menghubungi seseorang, bunda langsung mencoba bertanya kepada Lea.
“Kamu ini kenapa sih, Lea?” tanya bunda.
“Ini bun, kak Nata.” Lea terus mencoba menghubungi Nata, namun tetap sama saja hasilnya.
“Nata kenapa, Le?”
“Lea sama kak Nata udah janji mau olahraga hari ini. Tapi, kak Nata nya gak jawab telepon Lea, bun…” Lea udah benar-benar gak habis pikir, dengan Nata yang udah ingkar janji.
“Mungkin Natanya belum bangun, sayang…”
Mendengar bunda ngomong seperti itu, Lea langsung ijin pamit ke Rumah Nata untuk membangunkannya.
“Bun, Lea pamit.”
“Mau kemana?”
“Rumah kak Nata.” Lea langsung bergegas meninggalkan bundanya begitu saja.
Dasar anak remaja jaman sekarang bunda menggelengkan kepala dan menutup pintu.
Lea tiba di depan Rumah Nata, “tok tok tok, kak Nata” serunya dari depan pintu.
Tak lama pintu pun kebuka. Baru saja Lea hendak mengeluarkan semua amarahnya, namun ternyata yang membukakan pintu justru malah Nathania, mama dari seorang Windra Winata.
“Eh Lea, ada apa nak datang pagi-pagi jam segini?” tanya Nathania pada Lea.
“Ini tan, Lea sama kak Nata ada janji mau olahraga hari ini. Tapi kak Natanya gak ngejawab telepon Lea.”
“Nata belum bangun, Le. Tapi kalo kamu mau bangunin, naik aja ke atas.” Lea langsung naik ke atas tempat dimana kamar Nata berada.
“KAK NATA!!!” Lea berteriak dari depan pintu kamar Nata untuk membangunkannya.
Lea mencoba menempelkan telinganya dibalik pintu. “Gaada suara, coba dengerin lagi ah.” Lea terus fokus supaya bisa mendengar apakah ada suara dari dalam.
Tiba-tiba pintu itu terbuka ketika Lea sedang mencoba mendengarkan suara. “Aduhhhh” teriak Lea kesakitan.
Lea segerabangkit dan melihat apakah Nata sudah bangun apa belum. Dan benar saja, Nata masih tertidur lelap. Ia mendekati Nata secara perlahan dan berteriak persis di depan kuping Nata.
“KAK NATAAAA!!!”
Nata langsung terbangun dari tidurnya setelah mendengar teriakan Lea di depan kupingnya. “Lea? Lo ngapain disini? Keluar cepetan! Pamali orang belom sah udah main masuk kamar laki-laki tanpa ijin.”
“Kata siapa belom ijin? Orang sama tante Nia di ijinin wlee.”
“Dasar dari dulu lo gak pernah berubah!”
Lea yang mendengar itu, dirinya langsung mendekati Nata tanpa ada sedikitpun jarak antara mereka.
“Apa lo bilang? Gue gak pernah berubah? Gue berubah. Nih lo liat, makin cantik. Ya, kan? Lo tuh yang gak pernah berubah. Masih sama kaya manusia es, cih.”
Nata langsung mengacak-ngacak rambut Lea tanpa ada aba-aba sedikit pun. “Rasain! Ini akibatnya kalo lo ngeledek orang ganteng.”
“TANTEEE, kak Natanya—“ Nata langsung membekep mulut perempuan yang kini berada di depannya. “Lo gak usah berisik. Keluar! Gue mau mandi. Lo jangan ngadu ke mama yang enggak-enggak!” Lea didorong keluar begitu aja oleh Nata.
“Dasar cowok gak jelas! Gue sumpahin lo daper jodoh yang nyebelin, gak waras, sinting, gila, miring.”
Setelah puas ngata-ngatain Nata, Lea turun menuju ke bawah untuk menunggu Nata selesai mandi.
“Lea, ada apa sih? Tante denger kamu teriak-teriak dari atas. Diapain kamu sama Nata?”
“Ini tan, mulut Lea—“ lagi dan lagi, Nata dateng langsung memotong omongan Lea. “ayo, jadi olahraga gak?” Lea hanya memandang Nata dengan tatapan yang sinis dan langsung berpamitan kepada Nia,mama dari Nata.
“Leanya jangan digangguin terus atuh, bang …”
“Iya, ma. Yaudah Nata berangkat olahraga dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Mereka berdua tiba di sebuah taman yang biasa dikunjungi oleh banyak orang untuk ber-olahraga. “Kak, lo laper gak si?” Nata hanya menatap dengan tatapan yang datar. “Kak ihhhh, gue serius. Lo laper gak?!” Lea kembali bertanya kepada Nata. Namun, Nata justru malah meninggalkan Lea sendirian.
Bukan malah mengejar, justru Lea sengaja. Ia tau kalau Nata tidak akan meninggalkannya seorang diri. Bisa-Bisa dirinya dimarahi oleh mamanya karna meninggalkan Lea sendirian.
Nata berhenti sejenak dibawah pohon rindang untuk bersantai sambil menunggu Lea. Sedangkan yang ditunggu tak kunjung datang. Tiba-tiba pundak Nata di tepuk oleh seorang perempuan yang juga sepertinya sedang berolahraga disini.
“Misi kak?” tanya wanita itu.
“Yaa?” seperti biasa, Nata hanya menjawab seadanya.
“Kakak sendirian?” Nata tak menjawabnya. Namun, wanita it uterus mencoba agar Nata memberikan perhatiannya sedikit. “Pacar kakak kemana?”
Kini Nata mulai berdiri mendekatinya. “gue gak punya pacar.” Tiba-tiba wanita itu tersenyum kepada Nata.
“Aku juga gak punya pacar. Gimana kalo kita deket dulu?”
Bukan menjawab pertanyaan Ldya, justru Nata melihat Lea yang tengah mencari dirinya. “Leaaa” panggil Nata yang sambil melambaikan tangan.
Lea yang melihatnya langsung berlari ke arahnya. “Kamu abis darimana sih? Aku cariin juga.” Ujar Nata sambil merangkul Lea.
Aneh, memang aneh. Tidak seperti biasanya Nata bersikap seperti ini, “Lo kerasukan apa kak?” tanya Lea yang merasa penasaran dengan sikap Nata.
“Kerasukan? Engga kok … udah yuk kita pulang, udah siang nih.” Ucap Nata. “Oh, iya, kita pamit pulang dulu, ya … semoga nemuin pacarnya hehe.”
Setelah dirasa udah jauh dari Ldya, Nata melepaskan genggamannya, “keenakan lo, ya, gue genggam” Lea hanya bisa tertawa. “oh ternyata karna lo digangguin cewek itu, jadi lo ngerangkul gue, ngomong kata-kata manis, cih.”
“Berisik. Ayok pulang!”
Mereka tiba di Rumah masing-masing. Lea di Rumahnya, dan Nata di Rumahnya. “Gimana bang olahraganya?” Nata terkejut, “mama, ngagetin Nata aja … “
“Hehe, maaf bang. Gimana?”
“Gimana apanya, ma?”
“Itu olahraganya … “
“Biasa aja.”
“Kok biasa?
“Ya, kaya olahraga biasa aja. Yaudah, Nata mau mandi dulu. Gerah.”
Memang Nata gak terlalu suka kalo badannya berkeringat, walaupun hanya sedikit.
“Kak, nanti siang anterin bunda ke toko kue, ya …. “
“Buat?”
“Kamu lupa, kalo papah bentar lagi ulang tahun?”
Lea menepuk jidatnya, bagaimana bisa dirinya lupa dengan tanggal lahir papahnya sendiri. “Maaf, bun hehehe.” Kata Lea, “yauda nanti Lea anterin.”
“Bun, mau jam berapa?” tanya Lea, “sekarang kak.” Lea yang mendengar itu langsung turun menuju ke Ruang Tamu.
“Bunda mah selalu mendadak … untung Lea udah rapih. Ya, walau make kaos doing hehehe. Seenggaknya rapihkan?” bunda mengangguk.
Disaat mereka ingin jalan, Nata datang secara tiba-tiba. “Ada apa Nat?” tanya bunda.
“Ini bun, disuruh ngasih kue bikinan mama.” Nata langsung menyerahkan kue itu ke bunda Lea.
“Nata mau ikut?” Nata yang melihat Lea di samping bundanya sedang senyum-senyum sendiri langsung merasa aneh. “Engga deh, bun.”
“Loh kenapa?”
“Gak apa-apa, bun.” Sebenarnya Nata tidak enak untuk menolak ajakan bunda. Namun, anaknya sendiri lah yang bikin Nata ingin menolaknya.
Dengan senang hati, Lea turun dan langsung menyuruh bunda pindah tempat duduk supaya Nata aja yang menyetir mobilnya. “Lo ikut, terus lo nyetir. Bunda lagi sakit, jadi gak bisa nyetir.”
Bunda hanya bisa tertawa melihat putrinya menjailin Nata. “Maafin, ya, Nat. Lea emang begitu.” Nata paham dengan sifat Lea yang sangat nyebelin itu. Sebab, bukan satu atau dua bulan aja Nata dan Lea kenal. Mereka berdua kenal sudah sedari umur 5 tahun disaat Nata pindah ke rumah tersebut.
Setelah semuanya sudah siap, kini Nata mulai menancapkan gas mobilnya untuk menuju ke sebuah tempat kue.
Tiba lah mereka di toko kue tersebut setelah menempuh perjalanan kurang lebih 20 menit.
“Selamat datang, selamat datang di toko neocake.” Ujar pelayan.
Bunda masuk dan langsung melihat-lihat kue mana yang cocok dan keliatan enak buat ulang tahun Dendra. “Bun, kuenya harusnya yang coklat, ya … “ kata Lea.
“Beli aja sono sendiri! Ini buat papah. Enak aja”
Nata langsung menarik tangan Lea begitu aja tanpa aba-aba. “Ih apaan sih narik-narik, so asik.” Kata Lea yang melepaskan tangannya dari tangan Nata. “Lo mau kue kan?” Lea mengangguk, “iya. Tumben lo … “
“Gue ada kue yang cocok buat lo” Lea penasaran, kue apa yang akan diberi tahu Nata kepada Lea.
“Nah kue ini,” Lea bingung, maksud dari Nata menunjuk kue pink bergambar Babi itu apa. “Maksudnya?”
“Iya, Babi. Cocok kaya lo kalo lagi nyebelin, hahahaha.” Nata langsung lari menuju tempat dimana bunda berada, untuk berlindung dari Kalea.
“NATAAAA!!!”
“Bun tolongin Nata … Nata dikejar Lea.” Kata Nata yang kini berada dibalik tubuh bunda.
“Emang kamu kenapa kok bisa dikejar?” baru aja Nata mau menjawab, datanglah seseorang yang barusan di sebut-sebut. “Nataaa! Awas lo!!!” Lea mencoba menangkap Nata yang berada dibelakang bunda.
“Aduhhhh ini kalian ada apa sih?” tanya bunda yang pusing melihat mereka tiap hari bertengkar terus.
“Ini bun, masa Lea dibilang mirip babi. Kan Lea cantik, ya, bun … “ Bunda tertawa.
“Cantik kok. Emang siapa yang bilang Lea mirip babi?” Lea menunjuk seseorang yang kini berada disamping bunda, yaitu NATA.
“Oh, Nata .. gak apa-apa kok.”
“Ihhh bunda kok malah belain kak Nata sih?”
“Kan calon mantu. Ributnya nanti lagi. Sekarang ayok pulang.”
Mereka pun meninggalkan toko kue setelah selesai mengambil kue untuk ulang tahun Dendra papah Lea.
“Nata”
“Iya, bun?”
“Tadi bunda beliin ini,” Lyandra mengeluarkan sebuah roti untuk diberikan kepada Nata dan Nathania. “Makasih bun. Kalo gitu, Nata pulang, ya … “ Lyandra mengangguk.
“Dah sana masuk, ngapain masih disini? Suka, ya, kamu sama Nata?”
Lea langsung menatap bunda, “dih, Lea suka sama dia? Aduhh bun … “
Lea langsung menuju ke kamarnya yang berada di lantai 2 itu. Lea melihat buku diary yang mana biasa dirinya menuliskan sesuatu.
Dibuku diary itu, banyak sekali catetan tentang dirinya bersama Nata yang selama ini menemani dirinya dari kecil sampai saat ini. “Apa jangan-jangan benar kata bunda kalo gue suka Nata?” Lea menampar pelan pipinya, “bangun Le anjir … gak mungkin lo suka sama dia. Lo kan pernah nyumpahin dia dapet jodoh sinting, gila, miring. Ya, kali lo jodohnya.”
Sebaliknya, Nata yang tiba dirumahnya disambut hangat oleh sang mama tercina. “Hay ganteng. Abis darimana nih?” Nata menyerahkan roti yang tadi dikasih bunda Lea. “Dari bunda Lea.”
“Oh, kamu abis dari toko roti?” Nata mengangguk. “Yaudah, mah. Nata mau mandi dulu, gerah.”
Nata masih memikirkan kata-kata bunda yang bilang bahwa dirinya adalah calon mantu. “Kalo calon mantu, berarti … enggak gue gak mau sama Lea.” Nata menggaruk kasar rambutnya. “Tapi kalo beneran gue suka sama Lea? Kan banyak orang bilang, ‘jangan benci-benci, nanti malah jadi cinta.’ Gakkkk gue gak mau. LEAAAAA!!!”
Nia yang mendengar teriakan itu, langsung berlari menuju kamar Nata.
“Apa sih bang teriak-teriak?”
“E-eh enggak, ma.”
“Jangan teriak-teriak. Udah malem, gak baik.” Lagi-lagi Nata mengangguk.
Lyandra yang ngerasa bahwa ada sesuatu antara Lea dan Nata, kini dirinya mencoba untuk menghubungi Nia. “Pliss, ayok angkat, Ni.” Lyandra yang gak sabaran itu terus berharap Nia mengangkat telponnya.
Tiba-tiba terdengar suara, ‘hallo’ dari teleponnya.
Hallo kata Nia yang menjawab telepon dari Lyandra.
Hallo, hallo
Tumben nelpon, biasanya langsung kerumah, Ly
Ada yang mau aku omongin
Apa?
Kamu ngerasa gak sih kalo Nata sama Lea kaya nyembunyiin sesuatu?
Ngerasa kok. Emangnya kenapa, Ly?
Gak apa-apa. Aku cuma mastiin aja. Kirain aku doang yang ngerasa begitu.
Nata belum ada pacarkan, Ni? tanya Lyandra.
Setau aku belum sih … lagian siapa yang mau sama dia, dia dingin gitu kaya papahnya.
Kecuali anak aku. Mereka berdua pun sama-sama tertawa.
Ni?
Iya?
Gimana kita jodohin aja anak kita? Kan udah kenal dari kecil, pasti tau dong sifatnya satu sama lain …
Nikah?
Tiba-tiba terdengar suara Nata dari belakang, “siapa yang mau nikah mah?” Nia langsung mematikan teleponnya begitu saja.
“Kenapa bang?” Nia berpura-pura tidak mendengarnya.
“Itu tadi mama teleponan sama bunda Lyandra kan?” Nia mengangguk, “terus siapa yang mau nikah, ma?”
“Kalian.” Nata menatap Nia bingung, “maksudnya?”
“Iya kamu sama Lea.”
Nata tak percaya bahwa dirinya benar-benar akan menikah dengan Lea, perempuan yang ia kenal dari kecil, perempuan yang paling nyebelin menurut Windra Winata.
“Mama serius?” ia tetap berusaha menanyakan hal itu.
“Mama serius, sayang … emang mama pernah bercanda?”
“hmm … iya juga. Yauda Nata ke atas lagi, ya.” Nia mengangguk.
Untung saja anaknya ini penurut, coba kalau enggak, bisa-bisa dia sekarang gak tau kabur kemana.
Hari sudah berganti, Lea yang sudah bangun lebih awal, kini membereskan tempat tidurnya dan menuju ke bawah untuk memastikan apakah bundanya sudah bangun apa belum.
Belum aja Lea menginjak anak tangga, bundanya sudah memanggilnya lebih dulu. “Leaa, bangun. Sarapan dulu.”
“Iya, bun.”
“Selesai sarapan, ke Rumah Nata dulu, ya …”
“Ngapain?”
“Ngasih sarapan, ini bunda masaknya kebanyakan” Lea mengangguk.
Tak lama dari itu, Lea bergegas untuk ke Rumah Nata sesuai perintah yang bunda kasih, “Lea berangkat dulu, bun. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam”
Lea pun tiba di Rumah Nata, disaat Lea ingin mengetuk pintunya, namun, pintu itu terbuka. Dan rupanya itu adalah Nata. “LO? Ngapain kesini pagi-pagi?” Sebenarnya Lea malas berdebat dengan Nata pada pagi-pagi seperti ini. Namun, karna Nata menanyakan hal itu, Lea pun menjawab.
“Yang pasti bukan mau ketemu sama lo.” Saut Lea. “Gue mau ngasih ini,” Lea menyerahkan rantang yang berisi makanan pada Nata. “Dari bunda, gue pamit. Salam buat tante Nia.” Disaat Lea hendak melangkah kan kakinya untuk pergi, Nata menahannya.
“Dih apaan lo megang-megang?” Nata langsung melepaskannya setelah Lea berbicara seperti itu. “Ogah gue juga megang lo.” Lea menekukkan tangannya ke dada, “apaan nahan-nahan tangan gue?”
“Lo udah tau kalo kita mau nikah?” mendengar hal itu, Lea justru ketawa, “HAHAHAHA, ngaco lo?”
“Gue serius. Tadi malam, mama sama bunda telponan bicarin soal jodoh sama nikah-nikah gitu. Terus gue tanya ke mama, katanya kita yang mau dijodohin terus nikah.”
Lea masih gak paham sama apa yang Nata bicarakan, “Lo ngomong apa sih, kak?”
“Nanti aja deh. Kalo enggak, lo tanya sama bunda coba. Bener apa enggak.”
“Ya, oke.” Lea mulai melangkahkan kakinya untuk segera pergi dari Rumah Nata.
Sesampainya Lea di Rumah, ia mencoba menanyakan hal yang baru saja Nata ucapkan tadi. “Bun, bunda dimana?”
“Di dapur, kak.”
Lea menghampiri bunda yang kini sedang asik berbincang bersama bibi. “Ada apa kak?” Lea bingung harus mulai darimana, “bunda semalem telponan sama siapa?”
“Kamu denger, kak?” Lea mengangguk. “Sama tante Nia.”
“Ngobrolin apa?” bunda tak bisa menjawabnya. “Bun, Lea nanya loh ini, masa dicuekin?”
“Nanti malem kamu bakal tau, Le.”
“Hmm … okee.”
Waktu yang dinanti-nanti telah tiba. Dimana Dendra akan pulang seperti biasa pada ulang tahunnya. Kini Lea, Lyandra, dan bibi sudah menyiapkan semuanya, dan mengundang Nia dan Nata.
Lyandra yang mendapatkan sebuah notif bahwa Dendra sudah dekat, dirinya langsung mematikan semua lampu agar Rumah terlihat seperti tidak ada orang.
Lea mengintip sedikit dari jendela untuk memastikan apakah papahnya sudah sampai apa belum. Tak lama dari Lea mengintip, terdengar suara klakson mobil yang sudah dipastikan itu adalah Dendra. Lyandra menyiapkan kue ulang tahun, Lea menyiapkan party pooper, sedangkan Nata bagian menyalakan lampu.
Ini lah saatnya, Dendra membuka pintu. “Bun, Le, kamu dimana? Kok gelap?” tanya Dendra yang sudah khawatir Rumah kosong.
Dan betapa terkejutnya Dendra ketika lampu dinyalakan, dan Lea mulai menekan tombol dari party pooper tersebut. Lyandra membawa kue sambil menyanyikan selamat ulang tahun untuk suami tercinta.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday mas Dendra, happy birthday to you … “ sebelum meniup lilin Dendra berdoa terlebih dahulu, agar panjang umur, sehat terus, dan bisa bahagiain anak istri.
Selesai berdoa, Dendra langsung meniup lilin, “huuh” Dendra langsung mencium kening sang istri. “Terima kasih, bun.” Tak lupa juga dengan Kalea putri tercinta mereka. “Terima kasih, Lea, anak papah.”
Dendra juga melihat bahwa ada Nia dan Nata yang kini sedang menyaksikan kebahagiaan keluarganya. “Hay, ganteng. Makin ganteng aja nih anak Nia.” Kata Dendra yang memuji Nata ganteng. Sedangkan yang dipuji justru salah tingkah.
“Makasih, om … “
“Ayok duduk-duduk.” Kini semuanya ikut duduk.
Bibi mulai mengambil makanan untuk di taro di meja makan. “Ini bu, pak, masakannya. Silahkan dimakan.” Semua mengangguk, “Makasih, bi.” Ucap Nata
Setelah semuanya selesai makan termasuk bibi yang enggan gabung bersama mereka, kini Dendra mengajak berbincang-bincang ringan di Ruang Tamu.
“Oh, iya, Ma, aku mau nanya” ucap Nata kepada Nia. “Nanya apa bang?”
“Emang bener, Nata sama Lea bakal nikah?” Lyandra yang mendengar semua itu langsung menatap mata Nia, “Iya. Bunda udah percaya sama kamu, Nat. Jadi bunda, om, dan mama kamu setuju kalo kamu sama Lea, kita jodohin.” Lanjut Lyandra.
“Lea setuju kan?”
“Lea setuju, biar Lea enak ngeledekin kak Natanya.” Nata hanya menatap Lea datar.
Hari yang dinanti-nanti tiba, yaitu HARI PERNIKAHAN LEA DAN NATA. Dimana semuanya udah siap, tamu yang ingin menyaksikan akad mereka pun sudah berdatangan. Mempelai lelaki pun tiba untuk menjemput sang kekasih.
“Nata, duduk sini.” Kata Dendra.
Setelah mempelai pria duduk, mempelai wanita pun tiba. Dengan gaun berwarna putih, indah, dan cantik, berhasil membuat Nata menatap Lea dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Lea pun duduk disamping Nata. “Lo cantik, Le.” Lea memukul pelan pundak Nata, “berisik!”
Kini penghulu sudah menyerahkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Nata. “Nak Nata, bisa kita mulai?” Nata mengangguk.
Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Windra Winata bin Adrian Winata dengan anak saya yang bernama Kalea Syanaputri dengan maskawinnya berupa mas kawin, Tunai.
“Gimana para saksi, sah? Sah?” saksi pun menjawab ‘sah’ dimana akhirnya Lea dan Nata resmi menjadi pasangan suami istri.
“Nata, om titip anak om, ya … om yakin, Nata bisa jadi suami yang baik buat Lea.” Nata mengangguk dan memeluk Dendra.
-END-