qianwoole11xd

Asha tiba di Rumah Sakit bersama dengan Diffa, “Sha, gue gapapa ikut masuk? Gaenak sama Jaeden..” Kata Diffa yang menahana dirinya di depan lift.

“Gapapa, ada gue. Ayok” Diffa menghela napasnya, mengikuti kemauan temannya ini. Ia tahu kalau permintaan Asha tidak dituruti, Asha akan tetap memaksanya.

Mereka berdua tiba di depan pintu kamar dimana El dirawat. Sebelum Asha membuka pintu, Eden sudah lebih dulu membukakan pintunya. Betapa terkejutnya dirinya melihat ada Diffa berdiri di samping Asha.

“Dif, ayok masuk” namun lengan Diffa ditahan oleh Eden. “Eden, lepasin!” Minta Asha, namun Eden enggan untuk melepaskannya.

“Aku mau bicara sebentar sama Diffa, boleh?”

“Bicara apa?” Asha curiga, apa yang ingin suaminya bicarakan kepada temannya itu.

“Sebentar doang”

“Jangan ada keributan, ini rumah sakit. Kalo ampe ada keributan, aku gaakan maafin kamu, Den.” Tegas Asha yang dibalas anggukan Jaeden.

Lalu mereka berdua pergi ke taman rumah sakit yang berada di belakang. “Gue mau bicara sama lo” ucap Eden dengan keras.

“Silahkan”

“Berani-beraninya lo nginep berdua doang sama istri orang!” Emosinya sudah benar-benar diujung tanduk, namun ia berusaha keras agar tidak terjadi keributan. Dirinya ingat dengan perkataan Asha tadi * Kalo ampe ada keributan, aku gaakan maafin kamu, Den.* itu yang ada di kepala Jaeden saat ini.

“Berani-beraninya ngehamilin perempuan lain, padahal udah punya istri” entah keberanian darimana Diffa mengatakan hal seperti itu.

“Jaga mulut kamu! Saya gak pernah selingkuh apalagi sampe ngehamilin. Saya di jebak. Dia menjebak saya, dia sudah nipu kita semua.” Tegas Eden.

“Oh, iya? Ada bukti?”

Jaeden diam disaat Diffa memintanya bukti. “Kenapa diem? Gapunya? Atau emang beneran ngehamilin?” Lagi, dan lagi Jaeden dibuat emosi dengan perkataan Diffa. Namun, ia juga masih mengingat perkataan istrinya.

“Sekarang mau kamu apa?” Tanya Eden pada Diffa.

“Saya gamau apa-apa, saya cuma mau anda pilih, Asha atau sekretaris anda itu.” Lalu Diffa meninggalkan Eden tanpa mendengarkan jawaban Eden terlebih dahulu.

Nathan yang sudah sampai di Bandara setelah sebelumnya sempat mampir ke supermarket, ia langsung menelfon Harkan.

Haloo

Appan

Gue udah sampe, lu dimana? tanya Nathan yang sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Harkan.

Oh, bentar, gue masih ngambil koper, lu dimana?

Di depan. Nanti gue foto aja.

Harkan langsung mematikan teleponnya terlebih dahulu dan segera mengambil koper yang sudah ada di depan matanya.

Notif pun muncul, bahwa Nathan sudah mengirimnya gambar keberadaan dirinya berada.

Harkan pun segera menuju lokasi sesuai gambar yang dikirim oleh Nathan. Sebelumnya, Harkan juga sempat pernah ke London waktu usianya sekitar 13 tahun. Harkan mempunyai ingatan yang sangat kuat, jadi, sangat mudah untuk Harkan menemukan keberadaan seseorang yang sekarang sedang menunggunya.

Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka berdua pun bertemu. “Gila-gila perjuangan lo perlu gue apresiasi,” ucap Nathan. “Hahaha, gue gak mau di bilang bercanda soalnya.” kata Harkan sambil tertawa ringan.

“Yaudah masukin koper lo di bagasi, terus kita ke hotel. Besok pagi gue kesini sendiri.” Harkan mengangguk.


Mereka berdua tiba di Hotel tempat dimana Harkan akan menginap, Nathan membantunya membawa barang-barang yang ia bawa, “makasih kakak ipar” ledek Harkan. Nathan hanya tersenyum.

“Udah sampe, gue mau pulang. Jangan lupa pintu dikunci. Kalo ada yang ngetuk pintu, lo intip dulu, jangan asal dibukain.” Lagi, lagi Harkan mengangguk, “siapp! Dadahh” Nathan pun mulai meninggalkan Harknan seorang diri di kamarnya.

“Capek juga, apa gue diemin Pelin sampe besok, ya? Tapi kasian juga… bales singkat aja deh, nanti gue minta bantuan Justin juga.” Batin Harkan.

“Har, papah udah pulang, sekarang lagi dalam perjalanan kerumah. Kamu nanti pulang aja, ya? Aku takut nanti papah marah … “ Bukan menjawab, justru Harkan mengacak-ngacak rambut Pelin, “gemes banget” ucap Harkan. “Emang papah marah kenapa?” lanjut Harkan.

“Ya marah karna aku pacaran lah” sahut Pelin, namun Harkan malah tertawa.

“Kamu ini, ya tinggal ngomong aja, “saya sayang sama anak bapak, saya janji gaakan nyakitin Pelin.” Gampangkan?” Timpalnya.

Pelin benar-benar tidak tahu harus menyembunyikan wajahnya yang merah akibat gombalan maut dari sang pacar ini dimana, “kamu salting, ya?” Tanya Harkan yang sudah tau lebih dulu. “Apasih” jawab Pelin.


Pelin, dan Harkan tiba dirumah, dan mereka langsung disambut dengan kehadiran lelaki berusia 40 tahun itu. Lelaki itu ialah papah dari Evelyn Angelo.

“Kamu abis darimana Lin?” Tanya papah.

“Nyari karton pah buat tugas … “ Ia terpaksa berbohong, karna dirinya takut kalo sang papah tau ia pacaran dengan seorang lelaki yang kini berada disampingnya. Nanti bisa-bisa papahnya marah.

“Boong, dia pacaran sama Harkan” teriak Hardin dari belakang dapur.

“Boong pah. Pelin gapac—“ omongan Pelin berhasil dipotong oleh Harkan, “benar, om. Saya pacarnya. Nama saya Harkan Alister, saya punya abang 2, dan kembaran.” Harkan mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Surya.

“Tuhkan Pelin udah berani bohong sama papah” kata Surya, yang sambil tertawa melihat anaknya yang kini sedang menundukkan kepalanya.

“Maaf pah … “ Ucap Pelin.

“Pelin, lihat papah,” pinta Surya, “Pelin gapapa pacaran, tapi jangan sampai ngecewain papah, dan juga abang kamu ini. Papah liat Harkan baik kok, jadi gamungkin dong dia nyakitin kamu nantinya, ya kan bang?” Ke empat abangnya itu mengangguk.

“Jadi maksud papah, papah ngerestuin hubunga kita?” Surya mengangguk, “dengan satu syarat” Pelin yang penasaran memajukan sedikit kepalanya.

“Apa pah?”

“Jangan macem-macem.”

“Siapp, pah!” Seru Pelin yang langsung memeluk Surya begitu saja. “Makasih pah” Surya sangat senang melihat putri nya senang, dan sudah tumbuh dewasa seperti saat ini. Sebelumnya, Pelin memang jarang senyum, malah bisa dibilang gapernah senyum.

Semenjak mamahnya meninggal karna lahirin Pelin, Pelin sangat merasa menyesal dan bersalah, sama papah dan ke-empat abangnya. Karna dirinya, abang-abangnya jadi kehilangan kasih sayang seorang ibu.

Jaeden, dan Amel meninggalkan Apartemennya untuk pergi ke sebuah cafe yang berada di Jalan Juanda. “Den, kamu ada masalah, ya?” Jaeden tak menjawabnya, ia hanya fokus menyetir mobil.

“Den, aku gak nyangka kamu bakal nemenin aku ke Cafe. Aku seneng deh.” Lagi, dan lagi Jaeden tidak menjawab.

Dengan keberaniannya, Amel menanyakan harus sampai kapan mereka berdua berpura-pura seperti ini. “Kapan mau ninggalin Asha?” Jaeden yang mendengar perkataan itu langsung mengerem secara mendadak. “Aduh. Kenapa sih? Kamu mau ya, aku keguguran?” Bentak Amel.

“Lo gila? Gue udah pernah bilang kalo gue gaakan ninggalin keluarga gue. Lagian bayik yang ada di dalam kandungan lo itu bukan bayik gue. Jadi lo jangan seenaknya nyuruh gue buat ninggalin Asha.” Jaeden benar-benar tak habis pikir dengan Amel. Amel kini hanya bisa diam, dan menunduk.

“Sorry gue kelewatan. Tapi gue beneran gabisa ninggalin keluarga gue.” Ucap Jaeden yang kembali melanjutkan perjalanan.


Tak lama, Jaeden dan Amel tiba di cafe tersebut. Mereka berdua mencari tempat duduk. Tanpa mereka sadari, ada seorang lelaki yang terus memandangi mereka dari jauh. Yaitu El.

El terus saja memperhatikan kemana arah mereka berdua akan duduk. Dengan tangan yang sudah dikepalnya, ia mencoba menahan amarah yang kini hampir meledak.

Rinjani yang melihat El seperti sedang menahan amarahnya, ia langsung mencoba menenangkannya walaupun ia sendiri tak tahu apa yang menyebabkan El seperti ini.

“Tenang dulu. Kamu kenapa?” El tak mendengar Rinjani berbicara, ia terus fokus dengan Jaeden yang kini duduk di kursi pojok itu.

Amel yang ingin memanggil barista yang ada di cafe itu, ia seperti melihat El dari jauh. Namun, ia tak memberi tahu Jaeden. Justru dirinya sengaja mendekati Jaeden.

“Den, soal tadi aku minta maaf ya … “ Amel menyenderkan kepalanya di pundak Jaeden. Hal itu berhasil membuat emosi El meledak.

El langsung bangun dan menghampiri kursi Jaeden. “Gaketemu gue, jadinya ngedate sama jalang ini? HAHAHA.” Jaeden kaget dengan kehadiran El, bagaimana bisa El tau kalau dirinya sedang berada disini bersama Amel?

“Kamu kok bisa ada disini?” Tanya Jaeden.

“Seharusnya saya yang nanya kepada anda. Kenapa anda bisa ada disini dengan wanita sialan ini?” El menunjuk ke arah Amel.

“Enak aja anda bilang saya wanita sialan. Jaga mulut kamu.” Amel kini turut berdiri dari kursinya setelah dirinya dibilang Wanita sialan oleh El.

“Anda diem dulu, bisa?” Pinta El.

“Tolong jelasin ini semua bapak Jaeden yang terhormat.” Kini emosi El benar-benar sudah berada diujung tanduk. Rinjani yang melihatnya langsung berlari kearah mereka.

“El, tadi papah kerumah, terus kata mamah kamu, kamu pergi. Jadi papah—“ belom sempat melanjutkan perkataannya, El langsung membalasnya. “Jadi papah dateng kesini sama dia? Iya?! Hahaha. Puncak komedi banget.” Celetuk El.

Jaeden hanya diam. Dirinya tau kalau sang anak memang keras kepala. Ia tak mau mencari ribut di tengah keramaian. “Kenapa diem?” Kata El.

“Udah yuk mas, kita pergi dari sini.” Pinta Amel yang mengajak Jaeden untuk segera keluar dari cafe ini.

“Mau kemana? Ohh mau ke apartemennya ya? Mau berduaan ya? Iya?”

PLAK

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi El. “Jaga mulut kamu, El. Kamu Gaada bedanya sama mamah kamu.” Hari itu juga El benar-benar benci sama papahnya. El memegangi pipinya dengan tangannya. Ia mengambil tas dan meninggalkan cafe itu dan menghiraukan Rinjani.

“INGET PESAN GUE, LO BERDUA GAAKAN BAHAGIA!” Dari arah kiri, sebuah mobil melaju kencang.

“EL AWAS!!” Teriak Rinjani. Namun, tabrakan tak bisa dihindari. El terpental, dan semua orang keluar untuk melihat kejadian tersebut.

Jaeden langsung berlari ke tempat El terpental. Ia benar-benar menyesel akan perbuatannya tadi.

“El, bangun El … maafin papah … El”

Rakry yang sudah dipenuhi rasa penyesalan, ia ingin menjenguk Harkan kembali. Pada pukul 7 malam, Rakry pun langsung menuju kerumah sakit tempat Harkan dirawat.

“Har, gue dateng. Gue dateng buat jenguk lo lagi. Ya, walau waktunya gak tepat.” Ungkap Rakry sambil menyetir mobilnya.


Tak lama, Rakry pun tiba dirumah sakit. “Misi mas, mau kemana, ya?” Tanya pak Satpam. Rakry pun bingung harus menjawab apa. Ia hanya diam.

“Mas?” Lagi, dan lagi satpam itu bertanya. “Ehhh iya pak … mau ke ruangan sodara saya pak.” Kata Rakry yang sedang berbohong.

“Tapi mas, jam segini udah gak boleh besuk … “

“Saya udah janji sama mamah saya kok, pak.”

“Kalau gitu, mas boleh masuk.”

“Terima kasih, pak.” Rakry pun segera masuk, dan menuju ruangan Harkan dirawat.

Sebelum itu, ia sempat mengintip dibalik tembok terlebih dahulu apakah disana ada abang, abangnya Harkan atau tidak. “Semoga gak ada.” harap Rakry.

Dan benar saja. Di depan pintu kamar Harkan kosong. Rakry segera mendekati kamar itu. Ia melihat keadaan Harkan yang terbaring lemas dengan alat-alat dari rumah sakit itu dari luar pintu.

“Har … maafin gue …” Rakry benar-benar hancur. Ia hancur melihat temannya koma seperti ini karna dirinya.

“Andai aja gue gak nurutin permintaan Mahen untuk bikin rem lo blong. Mungkin lo sekarang gak ada disini.” Tiba-tiba air mata Rakry keluar begitu saja. Dan disitulah Jaeden menepuk bahu Rakry.

“Woi!” Rakry terkejut dengan kehadiran Jaeden.

Rakry segera menghapus air matanya itu agar Jaeden tidak curiga. “Bikin kaget gue aja” kata Rakry.

“Ya, lo habisnya ngintip-ngintip kayak maling, hahaha.” Ungkap Jaeden. “Lo sendiri?” Lanjutnya.

“Iya. Lo habis darimana?”

“Kantin”

“Pantes tadi kosong, hahaha. Sorry, ya?”

“Kok minta maaf? Kenapa? Lo gak salah kali. Gue tadi ke kantin karna laper aja.”

“Den, gue mau jujur … tapi gue takut lo marah” Jaeden tak mengerti maksud ucapan Rakry barusan.

“Maksudnya?”

“Jadi gini yang bikin Har—“ belum sempet melanjutkan pembicaraannya, Jaeden menyuruhnya untuk duduk terlebih dahulu. “Duduk dulu, biar enak ngobrolnya. Kenapa, kenapa?” Kata Jaeden.

“Jadi yang bikin Harkan kayak gini itu gue. Tapi dibalik semua ini ada dalangnya, Den. Gue disuruh. Gue disuruh Mahen …” Jaeden yang mendengar itu langsung kaget. Ia langsung berdiri dengan muka memerah, dan tangan mengepal.

“MAHEN? MAHEN PANGESTU? IYA?!” Rakry mengangguk. “SIALAN! Bener dugaan gue kalo ini semua perbuatan Mahen. Sekarang dia dimana?” Lanjutnya.

“Gue gak tau sekarang dia dimana. Tapi, kalo lo mau nuntut gue, tuntut aja, Den. Gue siap. Karna gue juga salah.”

“Gue baka nahan lo dulu sampe Mahen bener-bener ketangkep.”

“Maaf.”

Jaeden tidak membalasnya, ia langsung pergi meninggalkan Rakry sendirian.

Seperti hari-hari sebelumnya, Rinjani tak lupa untuk menyusuri pantai sore itu. Saat itu langitnya sangat indah. Namun, Rinjani melihat ada seorang laki-laki yang sedang duduk dengan raut wajah yang sendu.

Rinjani memberanikan diri untuk mendekatinya. “Indah, ya?” Laki-laki itu kaget saat mendengar ucapan Rinjani. Aku terkekeh pelan. “Hehehe, maaf.” Lanjut Rinjani.

“Boleh aku duduk di sebelah kamu?” Tanya Rinjani, dan dibalas anggukan dari laki-laki tersebut.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan namanya kepada Rinjani. “Rayya, atau bisa lo sebut El.” Nama laki-laki itu adalah El.

“Aku Rinjani”

El hanya mengangguk.

“Lo ngapain sore-sore gini sendirian ke pantai?” Tanya El.

“Aku memang tiap sore selalu kepantai untuk ngelihat indahnya langit. Kamu sendiri ngapain kesini sendirian dengan muka sendu kayak gitu?” Kini Rinjani justru membalikan pertanyaan yang tadi El lontarkan.

“Gue? Ya gue sama kayak lo. Mau lihat indahnya langit”

“Bohong” Rinjani bisa membaca mata El yang sedang menyembunyikan sesuatu.

“Cerita aja kalau ada apa-apa, El. Aku siap dengerin kamu …” lanjut Rinjani.

“Gue … gue diusir” Rinjani masih belum bisa memahami ucapan El itu. “Aku masih belum paham, El … “ ucap Rinjani.

“Gue diusir sama papah gue. Dia udah gak nganggep gue anak lagi” El mulai meneteskan airmatanya. “Papah gue selingkuh. Dan selingkuhannya hamil anak papah, Nja … gue gak terima mamah gue di selingkuhin. Jadi, gue ngebentak papah gue. Gue salah, ya?” lanjut El yang semakin deras meneteskan airmatanya.

“El … kamu gak salah.” Rinjani mencoba menenangkan El, namun tiba-tiba kepala El bersandar dibahu Rinjani.

Rinjani kaget dengan El yang tiba-tiba menyenderkan kepalanya.

“Gue numpang nyender. Maaf … “ Ia paham betapa hancurnya lelaki yang saat ini tengah bersandar pada dirinya.

“Gapapa, kamu keluarin semuanya biar kamu tenang”

Harkan, dan Mahen kini sudah bersiap untuk memulai balapannya. “Siap?” Kata Mahen yang sudah sangat siap untuk melihat Harkan berlumuran darah.

Har, maafin gue … Ucap Rakry.

Bendera sudah diangkat, dan mereka pun mulai menancapkan gasnya.

Rakry terus berdoa agar Harkan selamat, dan tidak terjadi apa-apa. “Har, gue minta maaf. Gue emang gak pantes jadi temen lo.” Rakry benar-benar menyesal telah memilih duit dibanding nyawa temannya sendiri.

Mahen pun tiba terlebih dahulu. Ia tak melihat keberadaan Harkan dibelakangnya. “Hahaha, gue menang.” Teriak Mahen dengan sangat bangga.

Justin yang menyadari bahwa kembarannya itu tak kunjung kembali, ia mencoba bertanya kepada Rakry, “Ky, ini jalurnya gak jauh-jauh banget, kan? Kok Harkan lama banget?” Rakry tak menjawab.

Tiba-tiba orang lewat berteriak mengatakan bahwa ada yang jatuh di tikungan. Justin, dan yang lainnya pun langsung menuju tikungan yang dimaksud orang-orang.

panggil ambulance

ada telponnya gak di kantongnya?

ini ada surat-suratnya

Kata orang-orang yang sudah berkurumun.

“Misi mas, ini kenapa, ya?” Tanya Justin.

“Ini mas, ada yang jatuh.”

“Ciri-cirinya?”

“Makai jaket hitam, motornya hitam, celana hitam.” Justin mencoba kembali memastikan apakah benar itu Harkan, atau bukan.

“Namanya Harkan?”

“Kurang tau sa—“ belum sempat orang itu menjawab, tiba-tiba ada orang yang mengatakan bahwa yang kecelakaan itu adalah Harkan Alister.

Namanya Harkan Alister

Justin langsung menerobos gitu aja untuk melihat Harkan secara langsung. Benar saja, Harkan sudah berlumuran darah.

Justin melepaskan Helm Harkan, dan meletakkan kepala Harkan di pahanya. “Har, bangun… lo gak boleh pergi ninggalin gue. Mamah udah ninggalin gue, masa lo juga mau ninggalin gue sih… Har bangun…” kata Justin yang terus menepuk pipi Harkan.

Rakry yang melihatnya, ia sangat amat terpukul dengan kejadian ini. Ini semua salah dirinya. Kalau saja dirinya tidak mengikut perkataan Mahen, Harkan tidak mungkin seperti ini.

“Mas telpon ambulance aja” kata orang-orang sekitar.

“Ky, telpon ambulance, sekarang!” Rakry menelpon ambulance, dan Justin terus memeluk tubuh sang kembaran.

Sesampainya mereka di tempat, Harkan langsung mencari dimana keberadaan Mahen. “Anjing, Mahen nyusahin.” Kata Harkan yang masih terus mencari.

Yang dicari justru melihat keberadaan Harkan. Mahen pun segera menghampiri Harkan, untuk segera bersiap-siap.

“Nih dia si anjing” sindir Nathan.

“Hahaha, ikut juga lo kesini? Kok cuma lo doang? Adik, adik lo kemana?” Tanya Mahen.

“Bukan urusan lo!”

Mahen yang melihat Evelyn, ia mencoba untuk memegang tangannya. Namun, Harkan berhasil menepisnya.

“Kan gue udah bilang, gak usah nyentuh dia BRENGSEK!” Bentak Harkan.

“Santai bro, santai … gue cuma mau megang, gak ngapa-ngapain.”

Harkan segera menarik Evelyn untuk menjauh dari Harkan. “Ngapain sih narik-narik?” Harkan pun melepaskan genggamannya, “gapapa. Mahen bahaya.” Jawab Harkan.

“Oh, iya, katanya mau beliin gue ice cream, mana?”

Harkan tak menjawabnya.

“IH HARKAN, JAWAB!!” Rengek Evelyn.

“Besok aja”

“Gue ngambek sama lo!”

Nathan tiba-tiba datang, “Pelin kenapa? Kok cemberut gitu?” Tanya Nathan pada adiknya.

“Harkan janji katanya hari ini mau beliin ice cream, tapi malah kesini.” Harkan yang mendengarnya justru gemes. Namun, ia tak mau kalau Evelyn tau dirinya juga suka.

“Ohh, Harkan ada janji sama Mahen. Besok aja, ya?”

“Hmm … “ Ucap Pelin malas.

“HARKAN” teriak Geral yang sudah membawa motor Harkan ke garis start. Harkan pun segera menghampiri Geral, memanaskan motornya.

“Lo balapan sama Mahen emang ada apaan? Tumben banget” tanya Geral. Memang Geral belum mengetahui hal ini. Karena, Harkan hanya memintanya untuk mengeluarkan motor miliknya ke arena.

“Hahaha, penting banget bro hari ini” jawab Harkan.

“Yaudah, yaudah … good luck bro.” Geral pamit ke luar arena setelah selesai mengerjakan tugasnya.

Tak lama Mahen pun datang dengan menggeber-geber motornya. “Siap? Siap kehilangan Evelyn?” Ledek Mahen.

“Hahaha, Mimpi.” Ujar Harkan.

Raka pun mulai berjalan ke tengah garis start untuk segera meniup pluitnya.

“Udah siap?” Mereka berdua pun mengangguk.

“Satu”

“Dua”

“Tiga”

“MULAI!” Pluit pun berbunyi, dan mereka memulai balapan ini.

“Bang, Harkan menang gak, ya?” Tanya Pelin.

“Doain aja.”


Setelah melewati 2 putaran, kini putaran terakhirlah yang menentukan siapa pemenangnya.

Raka melihat motor bewarna hitam mengkilap yang sudah dipastikan itu adalah motor milik Harkan Alister.

Dan benar saja, Harkan memenangkan balapan hari ini. Tandanya, Mahen tidak berhasil merebut Evelyn dari Harkan.

“Gimana? Kalah kan? Hahahaha. Mangkanya jangan sombong.” Bisik Harkan ke kuping Mahen.

Mahen yang panas pun kembali menantang Harkan untuk tanding kembali melawan dirinya besok.

“Kata siapa kalah? Besok kita tanding lagi. Lihat, siapa yang bakal kalah besok.” Setelah itu Mahen meninggalkan Harkan dengan muka yang sangat marah.

Evelyn, dan Harkan tiba di markas 0104 genk dimana itu adalah markas Harkan, beserta yang lainnya. Harkan melihat kehadiran Mahen, “Kemana aja lo, tumben banget baru nongol, hahaha.” Kata Harkan.

“Biasa, orang ganteng mah sibuk terus, hahaha.” Jawab Mahen, yang ikut tertawa.

uhuk

Harkan yang peka langsung mendekat kearah Evelyn. “Maaf, maaf. Ayok ikut gue ke situ.” Ajak Harkan, dan Evelyn pun menurutinya.

“Bro, kenalin ini Evelyn,” Evelyn pun mengulurkan tangannya, “Evelyn” dan Mahen pun mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan gadis cantik ini.

“Mahen.”

Harkan yang melihat Mahen tak melepaskan genggamannya, langsung menarik Evelyn. “Udahan kenalannya, gak boleh lama-lama, nanti diomelin abangnya.” Sindir Harkan.

“Cewek lo?” Tanya Mahen

“Soon.”

“Baru soon kan? Gimana kalo buat gue? Biar gue pake” Harkan yang mendengar itu langsung memukul Mahen tanpa aba-aba.

BUG

Evelyn yang melihat Harkan memukul Mahen, dirinya langsung menjauh dari gerumbulan itu.

“JAGA OMOGAN LO!” bentak Harkan. “Lo nyentuh dia sedikit pun, habis sama gue!” lanjut Harkan.

Rakry yang melihat pertengkaran antara dua temannya itu langsung memisahkannya. “Udah bego, lo juga sih, Hen.” Mahen pun segera ditarik oleh Rakry untuk menjauh dari Harkan sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.

“Bentar dulu, Rak.” Pinta Mahen, “lo ngerti bercandakan, Har? Masa gini aja lo gak bisa diajak bercanda …. “

“Evelyn bukan bahan bercandaan. Dan bercanda lo gak lucu, BANGSAT!”

“Wettsss kalem-kalem, gimana kita taruhan aja? Kalo gue menang Evelyn buat gue, dan lo gak usah ikut campur. Begitupun sebaliknya. Gimana?”

shit, taruhan lagi, taruhan lagi. ujar Harkan dalam hati.

“Oke. Deal.”

Harkan segera menghampiri Evelyn, dan membawanya pulang.

“Pah, El ijin ke kamar mandi sebentar.” Eden pun mengangguk.

Tak hanya El yang ijin kepada Eden, Jovian pun juga meminta ijin untuk keluar sebentar, karena untuk mencari hawa. “Gue ijin,” ujar Jo, yang dibalas anggukan.

Kini hanya ada Eden, dan juga Amel asissten Eden yang menikmati minuman beralkohol itu. Pak Tian pun pergi meninggalkan mereka berdua untuk menghampiri anaknya.

“Saya tinggal, nggak papa?” Tanya Tian kepada mereka berdua.

“Nggak papa, pak.”

“Baiklah. Nanti saya akan segera kesini kembali. Ada yang mau di tanyakan lagi?” Tanya Tian.

“Pak, nanti kalau saya ngantuk, saya tidur dimana?”

“Kamu bisa tidur di kamar belakang, Amel. Sudah?Amel mengangguk, dan Tian pun mulai meninggalkan mereka berdua.

Kesempatan Amel untuk menggoda Eden pun juga semakin besar. Karena, sang tuan sudah dalam keadaan mabuk, akibat minum terlalu banyak.

Amel yang ngerasa Eden sudah mulai kacau, dirinya mulai mencium dan menikmati manisnya bibir sang tuan. “Enak…” ungkap Amel.

Setelah itu, Amel mulai menggotong Eden ke kamar belakang yang tadi diberi tahu oleh Tian.

El yang keluar dari kamar mandi dan melihat papahnya bersama sang asissten, ia mengikutinya dari belakang.

Setelah memasuki kamar, Amel mulai menutup pintunya agar tidak ada yang memergoki dirinya bersama Eden.

Amel mulai membaringkan tubuh Eden ke ranjang kasur empuk, dan membuka perlahan pakaian Eden.

“Eden, malam ini kamu akan jadi milik aku selamanya, hahahahaha.”

Eden yang dalam keadaan mabuk membiarkan Amel membuka pakaiannya, dan menikmatinya. “Terus sayang..” kata Eden yang dimana Amel mulai terpancing.

Setelah pakaian Eden terbuka, disitulah tubuh indah milik sang Tuan terpampang jelas di depan mata Amel. “Gila, gila, berasa berada di langit ke-tujuh”

Amel mulai menjilati tubuh Eden, dan hal itu membuat Eden mengeluarkan suara desahan, “ashhh, Asha kamu buat saya geli” Amel yang mendengar Eden menyebutkan nama Asha, berhenti bermain sejenak.

“Den, aku Amel, bukan Asha.”

“Lanjutkan, baby” Amel mulai menuju ke arah bibir Eden, sesampainya disana, Amel mencium dan melumat manisnya bibir sang Tuan.

El yang mendengar suara desahan dari kamar itu, mencoba membuka pintu secara perlahan agar tak menyiptakan suara. “PAPAH” El kaget dengan apa yang berusan ia lihat.

El yang sudah geram dengan perlakuan mereka berdua langsung masuk begitu saja tanpa aba-aba. “PAPAH!” Amel, dan Eden segera bangun, “Ohhhh pantes papah nggak ajak mamah, ternyata mau selingkuh.” Lanjut El.

“Abang, ini nggak seperti yang kamu lihat, sayang… wanita ini menjebak papah.” Eden segera memakai bajunya, dan menjelaskan semuanya kepada anaknya itu.

“Ngejebak gimana? Orang jelas-jelas anda sangat menikmatinya wahai Jaeden.”

Amel yang melihat pertengkaran papah, dan anak itu, hanya bisa tersenyum sinis. “Hahaha, ini yang gue mau.” Ucapnya dalam hati.

“Bener. Papah kamu yang minta saya ngegotong dia kekamar ini.” Eden benar-benar tak habis pikir dengan tingkah laku Amel. Bisa-bisanya Amel memfitnah dirinya didepan anaknya sendiri.

“JAGA UCAPAN KAMU AMEL!”

“Kenapa harus dijaga? Kan benar yang diucapin tante Amel. Bukan begitu Amelia?” seru El, dan dibalas anggukan Amel.

“El, dengerin penjelasan papah dulu”

“Apa yang perlu dijelasin lagi? Semua udah jelas. Jangan harap anda saya panggil papah lagi.”

PLAK

Satu tamparan berhasil melayang di pipi El. “El kecewa sama papah.” El meninggalkan Jaeden begitu saja.

“El, tunggu! Ini semua gara-gara kamu.” Eden mulai menyusul langkah El yang begitu cepat.

Disaat hendak keluar, El bertemu dengan Jovian, “El, mau kemana kamu?” El tak menjawab.

“Den, Den, stop. Kenapa?”

“El, El ngelihat gue sama Amel dikamar berduaan. Gue dijebak, Jo…”

“Anjing! Yauda, ayok nyusul El.”

Mereka berdua mulai menyusul kemana perginya El.